Uplik Ublik

Author: Therich Ninung / Label

Bisa membayangkan, atau malah nebak, yang bundar-bundar itu benda apa? Bukan peluit, bukan pula gasing mini. Ataukah tempat lilin? Bukan. Si bundar-bundar yang herannya masih dijual juga di pasar-pasar tradisional itu adalah tempat sumbu lampu Senthir atau lampu Ting. Orang Jogja sering menyebutnya Uplik atau Ublik.


Tiap sore, menjelang Maghrib, Senthir atau Ting mulai dinyalakan dan diletakkan di tempat-tempat penting, misalnya pojok rumah, ruang tengah, dan kamar mandi. Nyalanya kecil dan mudah mati, terutama jika tertiup angin. Karena dian kecil ini hanya berisi sedikit minyak, maka tidak sampai berjam-jam, nyalanya akan padam dengan sendirinya. Bisa dibayangkan, karena tidak ada penerangan sama sekali, maka rumah-rumah langsung sunyi senyap dan sekelilingnya gelap gulita karena para penghuninya terlelap. Habis mau apa kalau bukan tidur? Nggak ada TV, nggak ada penerangan. Boro-boro belajar atau membaca... Yah, itulah yang banyak dialami keluarga-keluarga sebelum tahun 80-an.


Keluarga-keluarga yang cukup berada biasanya punya sarana penerangan yang lebih baik. Misalnya lampu teplok atau lampu semprong. Lampu ini menggunakan bahan bakar minyak tanah. Durasi nyalanya juga lebih lama karena tangkinya berisi minyak lebih banyak dibanding lampu senthir atau ting. Lampu semprong masih sering kita jumpai sekarang ini. Jenis lampu ini tidak gampang padam oleh tiupan angin karena nyala api dilindungi semprong kaca.


Problem sering muncul kalau semprong jadi kepanasan dan berjelaga. Jelaga hitamnya harus dilap dengan kain (gombal). Untuk mencegah semprong pecah karena kepanasan, orang sering mencantolkan harnal yang sering dikenakan para ibu untuk mengencangkan konde atau gelungan.


Lampu semprong bermacam-macam bentuk dan jenisnya. Orang-orang kelas menengah Jogja jaman dulu membeli lampu semprong yang ornamental. Jadi, selain digunakan sebagai penerang ruangan juga ditampilkan sebagai hiasan. Ada lampu teplok yang benar-benar nemplok dinding, dan ada juga lampu semprong yang digantung. Yang paling mahal dan biasa dimiliki keluarga kaya adalah lampu kerek yang sejak tahun 75-an jadi incaran kolektor barang-barang antik. Kap beling atau porselen berwarna putih menjadi penanda sekaligus daya pikat lampu ini.

0 komentar: