Mencari buah-buahan jatuh adalah agenda pagi anak-anak tempo doeloe. Orang tua tidak punya anggaran menyediakan buah-buahan. Kalau sekarang kulkas penuh buah dan jus namun jarang disentuh, dulu untuk sekedar makan jambu, anak-anak harus berburu dipagi-pagi buta. Halaman rumah tetangga yang punya pohon menjadi area perburuan itu.
Di wilayah kami, tepatnya di sebelah rumah, ada rumah bangsawan yang berhalaman luas dan ditumbuhi pohon-pohon besar. Pohon buahan-buahan yang berkualitas prima. Maklum, pemiliknya adalah Gusti Bei (Gusti Pangeran Hangabehi), paman Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Dalem itu namanya Dalem Ngabean. Letaknya di sebelah barat alun-alun selatan, di kampung Ngadisuryan. Karena sekarang sudah berganti pemilik, namanya ganti.
Dalem Ngabean benar-benar tempat perburuan buah-buahan yang jadi idola anak-anak sekitar. Pohon jambu hijau semburat merah di sisi timur dekat dengan rumah induk, pohon-pohon sawo kecik yang kokoh dan anggun, pohon mangga manalagi dan sengir, pohon belimbing wuluh, bahkan pohon Kantil, merupakan sumber kegembiraan anak-anak.
Tiap pagi, banyak buah berjatuhan. Kami biasa mengambilinya: mangga atau jambu bekas gigitan codot, buah sawo kecik, belimbing wuluh yang kecut, dan lain-lain. Begitu dapat, langsung kami bawa pulang untuk dicuci bersih (kalau tidak malah dilap begitu saja pakai baju). Itulah salah satu menu harian kami. Kami tidak mau memanjat dan memetik sendiri buah-buahan itu, meski mungkin diijinkan, karena meski masih anak-anak, kami sangat menghormati Gusti Bei yang berwibawa dan murah hati itu.
Suatu hari, karena takut keduluan anak-anak yang lebih besar dan nekad, saya sengaja berangkat pagi-pagi buta. Saya merasa harus berangkat mendahului anak-anak lain karena khawatir tidak kebagian. Pasalnya sebelum tidur bapak sudah mengisyaratkan bahwa besok pagi bakal tidak ada enthog-enthog, jajanan tradisional buatan penjual dari desa yang biasa kami jadikan sarapan. Bapak lagi tidak punya duit untuk membelinya. Karenanya, saya harus bisa mendapatkan entah jambu atau sawo agar ada pengisi perut. Apalagi hari itu ada pelajaran olah raga (dulu namanya PD, singkatan Pendidikan Djasmani). Kalau lapar bisa berabe, semaput.
Dengan sigap saya membuka pintu belakang dan lari ke halaman Ndalem Ngabean. Sampai di sana sangat senang karena belum ada anak lain. Langsung saja saya menuju bawah pohon jambu hijau favorit saya. Jambu air berwarna hijau dan kalau masak semburat warna merah itu sangat segar dan manis. Rasanya khas. Di wilayah kecamatan Kraton, hanya ada tiga rumah yang memiliki pohon itu. (hasil survei anak-anak). Tapi yang ada di Ndalem Ngabean jauh lebih lezat. Waktu itu, saya sampai excited mendapati banyak jambu hijau berjatuhan. Langsung saja saya ambili dan taruh di bagian depan rok. Begitulah cara anak-abnak membawa buah-buahan. Jadi, nggak pakai wadah.
Dengan gembira saya lari pulang. Tiba-tiba, sebelum keluar dari halaman Ndalem Ngabean itu, ada lampu senter diarahkan pada saya.
”Kamu thuyul bukan? Katakan, thuyul bukan?” Seorang bapak menyapa saya dengan suara gemetar.
”Saya....Saya... anaknya Pak Pandam,” jawab saya seraya menyebut nama bapak. Karena dia tidak bakal mengenal nama saya. Lagian, takut dikira maling.
”Syukur... tak kira ki thuyul. Kok jam dua sudah cari jambu...” kata bapak itu sambil tersenyum.
”Hah... baru jam dua?” balas saya, ganti ketakutan.
”Pak... saya diantar pulang, ya... takut...”
Pak Gondopun akhirnya mengantar saya pulang sambil senyum-senyum.
”Ditutup lagi ya, pintunya...” kata beliau begitu saya masuk halaman dan mengucapkan terimakasih.
Malam itu saya memejamkan mata dengan lega. Malam yang tidak memerlukan mimpi indah...
0 komentar:
Post a Comment