Naming… namung… cuman… ngasih nama.
Penting po? “What’s in a name?” Kan cuma nama!? Apalah artinya... Perkataan Juliet dan Romeo itu seringkali disitir orang untuk menyatakan betapa nama tidak terlalu penting. Mungkin begitu pula pendapat sementara orang Djokja tempo doeloe. Lho, kok, memangnya ada apa?
Ada sikap kurang respek pada nama. Gitu. Padahal, orang Djokja kan selalu pakai ritual khusus ketika memberi nama anak. Paling tidak, bikin ”bancaan kalo.” Si ibu pura-pura jualan urapan (orang Yogya bilang, ”gudhangan”), yang diwadahi kalo (saringan santan) dari bambu. Anak-anak kecil diundang, dan disuruh pura-pura beli pakai kreweng (cuilan genteng). Wadah bancaannya sebuah pincuk dari daun pisang. Tentu saja, makannya tidak pura-pura. Dimasa nasi begitu berharga dan makan nasi belum tentu seminggu sekali, bancaan kalo jadi momentum favorit anak-anak. Apalagi ada telur rebusnya. Kalau anak sekarang disuruh makan telur sulitnya minta ampun, dulu telur secuil yang ada dalam bancaan serasa istimewa. Padahal cuma sauplik Kecil mungil. Tepatnya, kalau pakai ukuran matematika: seperdelapan. Sebuah telur ayam dibagi delapan. Bayangkan betapa kecilnya. Tapi, telur itu sangat diidamkan. Memakannya pun belakangan. Saking berharganya, dieman-eman. Dijadikan GONG. Alias, untuk hidangan penutup. Berkat bancaan itu, bisa dijamin anak-anak tidak akan melupakan nama baru si anak yang dibancaki. Sebagaimana mereka nggak bakal lupa akan bancaannya.
Bancaan kalo juga dilakukan kalau mengganti nama anak. Jaman dulu gonta-ganti nama tidak aneh. Kalau anak tidak suka pada namanya dan minta ganti, orang tua ada yang mau menggantinya begitu saja. Ganti nama juga sering dilakukan bila disuruh ”orang tua” atau dukun. Misalnya, si anak suka sakit-sakitan. Mbah duluk biasanya mengatakan anak itu kabotan jeneg, keberatan nama. Daripada nggak kuat menyandang nama yang terlalu hebat, diganti saja namanya..
Ritual memberi nama bisa lebih komplit dari sekedar membagi gudangan ke anak-anak. Pakai dibuatkan bubur merah dan putih serta bubur ”baru-baru.” Artinya, nama memang hal penting. Selain salah satu ujud identitas, nama adalah ungkapan harapan baik orang tua.
Anehnya, meski tahu nama itu penting dan sakral, orang sering saja seenaknya memberi nama julukan atau paraban pada orang lain. Boro-boro kalau julukannya bagus dan mentereng. Julukan yang diberikan cenderung lebih jelek dari nama asli.
Julukan biasanya diberikan pada seseorang yang punya ciri
khas fisik. Atau, kalau kebetulan di suatu desa atau komunitas tertentu terdapat beberapa nama depan yang sama sehingga masing-masing harus diberi pembeda. ”Gelar” baru pun diberikan orang.
Ada psikolog berdomisili di Jakarta tapi Yogya berpendapat bahwa julukan berpengaruh positif pada seseorang. Dia akan cenderung sabar dan rendah hati. Selain itu, dia akan me
rasa dirinya istimewa. Betulkah? Jangan-jangan yang terjadi justru sebaliknya. Jangan-jangan, karena yang memberi julukan orang yang superior atau punya power (termasuk didalamnya massa atau bahkan orang tua sendiri), maka yang dijuluki tidak bisa berkutik dan terpaksa menerima. Nyatanya, orang-orang yang punya kedudukan tinggi atau terhormat ditengah masyarakat, luput dari ”paraban” ini.
Jadi ingat nih, gimana bersama kakak sepupu, Mas Widodo, saya pernah mengabsen para tetangga satu kampung dengan nama-nama paraban mereka (yang dilabel
kan oleh masyarakat dan benar-benar dipakai). Sambil terpingkal-pingkal, kami meneriakkan nama mereka satu per satu. ”Hush, nggak boleh begitu. Menghina!” gertak ayah tiba-tiba. Klakep. Diamlah kami seketika. Setengah kecewa...
NAMA JULUKAN: NAMA ASLI
Adi Bakmi : Adi Wiroyo
Adi Soto : Suwadiyono
Adi Becak : Adi Kartomo
Arjo Gepeng : Suharjono
Arjo Kuat : Harjo Sudibyo
Arjo Pasar : Suharjoyo
Atmo Pentil : Padmo Legowo
Atmo Ruji : Atmo Sudiro
Bambang Tekek: Bambang Sundarto
Bambang Dhengklang: Bambang Nur Wicaksono
Bambang Nalo: Bambang Kuncoro Putro
Joyo Bandhul: Suryo Wijoyo
Joyo Gethuk: Joyo Pawitro
Suro Penthul: Suro Samekto
Suro Manuk: Suro Wiryo Manggolo
Darmo Pitik: Darmo Sajugo
Darmo Semprong: Darmadi
Diro Munyuk: Kromo Sudiro
Diro Gandhul: Sudiro Mulyo
Kromo Areng; Kromo Warsito
Kromo Leyo: Kromo Suwignyo
Kromo Ider: Kromo Wiguno
Mardi Lengo: Sumardi Raharjo
Mardi Sapu: Sumardiyanto
Marto Uwuh: Sumartono
Marto Thiwul: Harjo Sumarto
Parji Becak: Suparjiono
Parji Andhong: Suparjiwan
Parji Grobag: Suparji Soma Sugondo
Parto Mangut : Suparto
Parto Iwak: Partomo Hadiprojo
Rejo Lotis: Rejo Prawiro
Rejo Kucing: Surejo Wiryono
Rejo Tubruk: Pawiro Rejo
Sis Cebol: Siswo Suharso
Sis Thuyul: Siswantoro
Soma Kirik: Soma Sudarmo
Soma Randhu: Soma Sarono
Soma Dhingklik: Soma Tamtomo
Sunar Gareng: Sunardiyono
Sunar Dalang: Sunar Sunu Lukito
Sunar Lading: Sunarto
Sastro Cabul: Sastro Miyarso
Sastro Petruk: Harso Susastro
Sastro Peyok: Sastro Marsono
Sastro Gelap: Sastro Pamujo
Sri Kenthir: Sri Andewi
Sri Munyuk: Sir Maruti
Suto Beras: Suto Wargo Kusumo
Suto Maling: Sutomo
Suto Jabur: Suto Harjono
Tarjo Kenthong: Sutarjo
Tarjo Luweng: Harlan Sutarjo
Tarjo Sumur: Sutarjono
Trisno Lengo: Sutrisno Adi
Trisno Petruk: Trisno Margono
Gareng: Wiryadi
Petruk: Wisnu Ardi Pramono
Bagong: Sudarmanto
Benthet: Bambang Nur Irawan
Jlegor: Lukito Condro
Simbah: Raina Sitawati
Mbokdhe: Moordiana
Thiwul: Evie Kumala Dewi
Gundhul: Edy Kurniawan Saputro
Gepeng: Triatmoko Wisnugroho
Blegog: Panji Laksono
Gendhut: Suryo Putro Baskoro
Cebol: Rendy Harsanto
Pendhek: Sulistyo Aji Saputro
Lemut: Abdul Muis Hanif
Koclok: Wiratmoko
Gedhek: Eko Budi Santoso
Jangkrik: Jayanto Kristoaji
Jemblem: Marsinah
Tembem: Susiani Windrati
Kacung: Setyo Heru Widodo
Bandhul: Teguh Budi Pangestu
Jeprik: Sukmono Wiryanto
Jeprak: Suryono Sumargo
Jlitheng: Edy Kurniandaru
Ireng: Patricia Weny Cahyani
Thekle: Danny Arsono
Gondrong: Alif Astana
Mrongos: Windu Sancaka
Kuncung: Rudy Sasmita Adi
Koclok: Lukas Pratama
Cothot: Purwanto Widodo
Canguk: Anang Wirastono
Jabrik: Lukman Sumarwoto
Semprul: Yasmin Jaya Kusuma
Cempluk: Wiwid Widyastuti
Cebluk: Retno Palupi Utami
Limbuk: Deviana Linggasari
Godhek: Gabriela Sunarwijaya
Kepruk: Cosmas Wananto
Sentul: Jonathan Wahyudi
Kenthus: Purbawadi
Siwur: Satriya Adi Winarno
Kenyut: Marsana Windi Pradipta
Kenthut: Kusno Sujarwo
Penthul: Prastiono Pantoko
Gembong: Dion Andreas
Tembong: Maryanto
Ribut: Setyarini Purbawati
Bawor: Rusdiyantono
Brewok: Riko Sutejo
Sembol: Anisa Wikanputri
Nama-nama indah nan penuh makna di”sulap” begitu saja oleh masyarakat. Setelah kami sendiri merasakan gimana sulitnya cari nama bagus untuk anak, baru tahu betapa bakal terhinanya orang tua yang anaknya diberi julukan jelek. Terlebih, yang punya nama. Kalau sekarang nama-nama para senior itu diekspose di sini, bukan dalam niatan merendahkan. Just to show how society is cruel, sometimes. Moga hanya sampai tempo doeloe.
Selain memberi nama orang, ada juga trend memberi julukan warung. Kita tahu, sejak dulu, hingga kini, di Yogya ada:
Dan banyak lagi… But, the sexiest of all… Pecel Baywatch!
Mbah Warno "Anderson"
0 komentar:
Post a Comment