Pengilon bisa digantungkan di dinding atau distandarkan di atas meja. Ukurannya pun macam-macam. Ada yang 8 cm x 10 cm, alias kecil. Harganya jelas separo dari yang terlihat di foto, ukuran 20 cm x 25 cm. Relatif murahlah. Dan, pengilon cenderung disayang-sayang. Meski udah pernah jatuh dan sudutnya pecah atau bahkan cuil, si pemilik tetap sayang membuangnya. Setia musti sudah jelek dan karatan bingkainya. ”Buruk rupa, cermin dibelah,” benar-benar nggak berlaku di Djogja. Selain, tentu saja karena alasan belum punya uang buat beli penggantinya.
Cermin yang model ini lebih kuno lagi. Cermin buatan akhir abad ke-19 ini dimiliki oleh wanita dari keluarga kelas menengah yang punya akses ke kraton. Misalnya keluarga yang punya putri keparak atau penari kraton, abdi Dalem, dan yang sering wira-wiri ke raton dan tahu di dalam ada apa. Atau, paling tidak sering bertandang ke ndalem para bangsawan. Jadi tahu, seperti apa saja barang-barang yang mereka punya.
Pengilon ini dimaksudkan sebagai tiruan kaca rias yang biasa dimiliki oleh para putri Sultan. Tapi, jangan berpikir memiliki kaca rias yang sama. Orang ”pidak pedarakan” (rakyat jelata) waktu itu benar-benar tidak berani menyamai barang-barang, meniru gaya, mengenakan pakaian, para junjungan mereka. Takut kuwalat. Meniru modelnya saja, nyerempet-nyerempet coraknya apalagi, sungguh tidak berani. Maka, bisanya Cuma buat miniatur yang dimodifikasi sendiri. Karena punyanya wong cilik, ya sebaiknya kecil wae. Sengaja tidak didisain besar dan pakai dhingklik (kursi kecil tanpa sandaran) seperti pemilik asli. Itu lagi, karena wong ciliki mustinya duduk di bawah, tidak di atas.
Pengilon seperti ini sangat berharga dieranya. Seringkali, bahkan diletakkan di bilik atau senthong. Selain sebagai kaca rias, pengilon model ini juga difungsikan sebagai cermin untuk ritual. Karenanya, letaknya di tempat terhormat dan tidak digunakan untuk sembarang kesempatan.
Pengilon ini merupakan koleksi pribadi seorang wanita yang tinggal di barat Kemandungan Kraton Yogyakarta. Dibuat oleh seorang abdi Dalem undagi Kraton Djokja. Karenanya, sang paman, Raden Riyo Resosetika, memiliki referensi model kaca rias yang ada di dalam kraton dan sengaja membuat miniaturnya untuk mengungkapkan kebahagiaan atas kelahiran keponakan tercinta pada tahun 1899. Abdi Dalem Undagi adalah staf pengukir kraton yang diberi tempat domisili di wilayah Undagi (sekarang Dagen, barat Malioboro).
Geli dan nggak percaya kok ada yang kayak gitu? Sekarang, kemana kita pergi, selalu bawa compact powder di tas. Praktis dan prekis. Heran, sebegitu pendeknya sejarah cermin di kota yang punya kraton ini? Itu mah baru pengilon, kaca rias. Trus, gimana dengan perlengkapan make-upnya?
Siapa tidak kenal Ibu Mooryati Soedibyo, ibu yang bikin gadis-gadis Indonesia tampil anggun dan cantik dengan produknya, Mustika Ratu? Apakah di Djokja juga ada resep-resep istimewa untuk perawatan tubuh dan ramuan kencatikan seperti yahg diwarisi Ibu Moeryati dari kraton Solo? Kayaknya nggak. Kalaupun ada, itu sangat terbatas, mungkin hanya di dalam kraton. Karena, nampaknya Djokja bukan tempat asalnya adibusana dan adisarira.
Wanita Djokja,sejak doeloe, tidak modis dan malah cenderung lugu. Perlengkapan make-up dan perawatan tubuh tidak seberagam yang biasa dimiliki atau digunakan wanita Surakarta. Cukup tiga serangkai: bedak, benges, dan celak. Udah gitu, pakainya hanya pas jagong manten (kondangan manten). Itupun hanya disaputkan tipis-tipis.
Di tahun 70-an, kalau ada seorang wanita mengenakan bedak atau lisptik tebal padahal bukan istri pejabat atau masih keturunan ningrat, dia bakal dijuluki ”Nona/ Nyonya Wilem, ” alias ”dijawil gelem.”
Benges atau lipstick dianggap mewah dan mahal. So, jelas dieman-eman. Pakainya sedikit-dikit, tidak dioleskan tebal-tebal ke bibir. Lipstick cukup didulit pakai ujung kelingking, dan disaputkan tipis-tipis ke bibir. Kuas bibir alami, gitu ceritanya. Dan, satu lipstick dipakai bareng-bareng sekeluarga. Kadang satu tahun nggak habis. Kalau terpaksanya tinggal sedikit, nggak didulat-dulit lagi tapi diculak-culek sampai ke dasar wadahnya.
Wanita Djokja mengenakan make-up tipis-tipis, statusnya hanya untuk memperindah dan membuat lebih ”macak,” bukan untuk mengubah penampilan. Para wanita yang mengenakan make-up tipis-tipis dianggap ”ayu,” cantik luar-dalam karena tidak mengekspose kecantikan badaniah. Sedangkan mereka yang mengenakan make-up tebal dan vulgar, disebut ”kemayu,” atau kenes, atau identik dengan wanita murahan.
Bedakanpun nggak perlu pakai foundation. Bisa ketebalan. Nanti dibilang topeng lewat. So, cukup bedak tabur. Merck bedak tabur yang waktu itu populer adalah Marcks. Tapi, tidak semua wanita punya cukup uang bahkan buat membeli satu dos bundar bedak Marcks seperti itu. Banyak wanita berusaha membuat bedak sendiri. Namanya bedak adem, berupa butiran tepung kecil-kecil. Yang makainya musti dicairkan pakai air mawar dulu. Hasilnya, putih kekuningan dan halus. Tapi, kalau pas jerawatan dan pakai bedak dinginnya ketebalan, wuah... wajah bisa jadi kayak kupasan nanas.
Kehadiran bedak Viva dengan kemasan plastik merupakan solusi jitu dan inovatif. Kehadirannya nyaris berbarengan dengan bedak padat. Tapi, kebanyakan orang menganggap Viva lebih praktis dan ekonomis. Nyaris semua ibu rumah tangga Djokja memilih Viva. And toh, bedak padat tetap laku di kalangan yang lebih mapan ekonominya. Akhirnya, compact powder lebih disukai karena mudah dibawa-bawa dan ada cerminnya. Kemasan bedak padat juga menggeser popularitas pengilon atau cermin.
0 komentar:
Post a Comment