Dagadu, brand kaos yang telah menghidupi Yogya. Pemiliknya yang generous, benar-benar pahlawan perekonomian yang ikut mengentaskan puluhan ribu warga Yogya karena merelakan brand T-Shirt-nya itu untuk publik. Banyak orang Yogya ikut ”makan” lewat kaos-kaos yang mereka produksi atau jual dengan merk DAGADU.
Kalau anda datang ke Yogya dan ke Malioboro dan pasar Beringharjo, tidak mungkin tidak bertemu kaos Dagadu. Bahkan, mungkin anda dititipi teman-teman untuk membawa oleh-oleh kaos itu. Lalu, anda akan diantar para tukang becak ke wilayah Ngasem, ke sentra Dagadu. Meski, anda yang benar-benar memikirkan kualitas, akan tahu bahwa the original Dagadu ada di Malioboro Mall dan di rumah Dagadu sendiri, di Jl. Poncowinatan.
”Dagadu” itu bahasa mana, dan artinya apa sih? Mungkin anda pernah tergelitik untuk mengetahui. ”Dagadu” itu bahasa anak muda Yogya tahun tujuh lima hingga delapanpuluhan. Sebuah umpatan yang artinya ”matamu.” Bahasa Jawa versi Dagadu itu diciptakan oleh seseorang, entah siapa dia, dari mengutak-utik tulisan Jawa. Akhirnya bahasa itu populer di kalangan mahasiswa dan anak-anak SMA.
Dulu kami sekelas, II IPS 2 di SMA I (tahun 1979), menggunakan bahasa gaul ini. Sekelas menggunakannya, terutama kalau pas ulangan.
”Hire, pinyi?”
”Poya lesgi.”
”Panyu poya piba...”
”Piye, iki?” (Gimana nih?)
” Ora ngerti.” (Nggak tahu.)
”Aku ora isa...” (Aku nggak bisa.)
Bahkan, anak muda waktu itu bisa menggunakannya dengan lancar untuk pembicaraan sehari-hari antar teman. Biasanya yang sering menggunakan bahasa seperti itu anak-anak laki-laki. Anak-anak perempuan hanya segelintir yang bisa. Karena, kesannya agak nyerempet preman, gitu. Tapi, di kelas kami, nggak hanya anak laki-laki yang bisa. Nyaris semua sering menggunakan bahasa ciptaan sendiri itu.
Rumusnya sebenarnya mudah. Hanya mengurutkan bunyi abjad Jawa dan memakai bunyi yang ada di atas atau di bawah bunyi yang kita inginkan.
a. ha na ca ra ka
b. da ta sa wa la
c. pa dha ja ya nya
d. ma ga ba tha nga
Tiap kali mengucapkan kata yang ada unsur bunyi dari kelompok a, misalnya ka, maka yang diucapkan bukan ka itu sendiri tapi bunyi di bawahnya (dari kelompok b), yaitu na. Maka kalau mau bilang “karo sapa” (dengan siapa), yang diucapkan ”nawo cama”:
ka jadi na
ro jadi wo
sa jadi ca
pa jadi ma
Karena sering menggunakan, lama-lama jadi faseh beneran. Mereka yang berasal dari jaman itu hingga kini masih sering menggunakan, khususnya untuk membicarakan hal-hal pribadi atau buat sekedar bernostalgia. Kepiawiaian menggunakan bahasa gaul model Dagadu ini ternyata juga merupakan ketrampilan berbahasa tersendiri. Mereka yang ”tell me more” alias telat mikir alias ”lola,” bakal sulit atau kepontal-pontal menggunakannya.
Sebelum era tujuhpuluh-delapanpuluhan, ada model lain penggunaan bahasa serupa. Rumusnya kurang tahu, kayaknya lebih rumit. Ketika saya belum sekolah, saya sering dengar kakak-kakak sepupu berbicara menggunakan bahasa gaul itu. Seingat saya, kalau memanggil ”Mas” bukan ”mas” tapi ”kas.” Gimana menyusunnya, kurang tahu. Mungkin ada pembaca yang tahu versi ini atau berasal dari generasi ini bisa memberi info.
Waktu itu panggilan saya jadi “Pidhul.”
Kalau anda datang ke Yogya dan ke Malioboro dan pasar Beringharjo, tidak mungkin tidak bertemu kaos Dagadu. Bahkan, mungkin anda dititipi teman-teman untuk membawa oleh-oleh kaos itu. Lalu, anda akan diantar para tukang becak ke wilayah Ngasem, ke sentra Dagadu. Meski, anda yang benar-benar memikirkan kualitas, akan tahu bahwa the original Dagadu ada di Malioboro Mall dan di rumah Dagadu sendiri, di Jl. Poncowinatan.
”Dagadu” itu bahasa mana, dan artinya apa sih? Mungkin anda pernah tergelitik untuk mengetahui. ”Dagadu” itu bahasa anak muda Yogya tahun tujuh lima hingga delapanpuluhan. Sebuah umpatan yang artinya ”matamu.” Bahasa Jawa versi Dagadu itu diciptakan oleh seseorang, entah siapa dia, dari mengutak-utik tulisan Jawa. Akhirnya bahasa itu populer di kalangan mahasiswa dan anak-anak SMA.
Dulu kami sekelas, II IPS 2 di SMA I (tahun 1979), menggunakan bahasa gaul ini. Sekelas menggunakannya, terutama kalau pas ulangan.
”Hire, pinyi?”
”Poya lesgi.”
”Panyu poya piba...”
”Piye, iki?” (Gimana nih?)
” Ora ngerti.” (Nggak tahu.)
”Aku ora isa...” (Aku nggak bisa.)
Bahkan, anak muda waktu itu bisa menggunakannya dengan lancar untuk pembicaraan sehari-hari antar teman. Biasanya yang sering menggunakan bahasa seperti itu anak-anak laki-laki. Anak-anak perempuan hanya segelintir yang bisa. Karena, kesannya agak nyerempet preman, gitu. Tapi, di kelas kami, nggak hanya anak laki-laki yang bisa. Nyaris semua sering menggunakan bahasa ciptaan sendiri itu.
Rumusnya sebenarnya mudah. Hanya mengurutkan bunyi abjad Jawa dan memakai bunyi yang ada di atas atau di bawah bunyi yang kita inginkan.
a. ha na ca ra ka
b. da ta sa wa la
c. pa dha ja ya nya
d. ma ga ba tha nga
Tiap kali mengucapkan kata yang ada unsur bunyi dari kelompok a, misalnya ka, maka yang diucapkan bukan ka itu sendiri tapi bunyi di bawahnya (dari kelompok b), yaitu na. Maka kalau mau bilang “karo sapa” (dengan siapa), yang diucapkan ”nawo cama”:
ka jadi na
ro jadi wo
sa jadi ca
pa jadi ma
Karena sering menggunakan, lama-lama jadi faseh beneran. Mereka yang berasal dari jaman itu hingga kini masih sering menggunakan, khususnya untuk membicarakan hal-hal pribadi atau buat sekedar bernostalgia. Kepiawiaian menggunakan bahasa gaul model Dagadu ini ternyata juga merupakan ketrampilan berbahasa tersendiri. Mereka yang ”tell me more” alias telat mikir alias ”lola,” bakal sulit atau kepontal-pontal menggunakannya.
Sebelum era tujuhpuluh-delapanpuluhan, ada model lain penggunaan bahasa serupa. Rumusnya kurang tahu, kayaknya lebih rumit. Ketika saya belum sekolah, saya sering dengar kakak-kakak sepupu berbicara menggunakan bahasa gaul itu. Seingat saya, kalau memanggil ”Mas” bukan ”mas” tapi ”kas.” Gimana menyusunnya, kurang tahu. Mungkin ada pembaca yang tahu versi ini atau berasal dari generasi ini bisa memberi info.
Waktu itu panggilan saya jadi “Pidhul.”
0 komentar:
Post a Comment