Kembali ke kisah perlampuan dan penerangan di Jogja, khususnya tempo doeloe.
Di bilangan Taman Siswa, sekarang ini, mana ada rumah tanpa listrik? Anda yang kost atau berdomisili atau asli warga wilayah itu pasti lebih tahu. Tapi, tahu nggak, kapan sebenarnya listrik atau ANIM pertama kali masuk ke wilayah itu? Konon pada tahun 1922. Setidaknyal itu menurut Pak Pandam yang lahir di Golo. Beliau lahir pada hari Minggu Wage, 19 November 1922 di Golo, Nyutran. Sekarang termasuk Tamsis. Oleh kakeknya, seorang abdi dalem (prajurit Kraton Jogja) dari wilayah Nyutran yang bernama Raden Panji Rahwana, dia diberi nama Soepandam (baca: Supandam) karena lahir berbarengan dengan dipasangnya lampu ajaib, lampu super, alias listrik, di wilayah itu. Nama itu diberikan karena ”pandam” (bahasa Sanskerta) berarti lampu. Sedangkan awalan ”Su” berarti super atau istimewa, atau bahasa Jawanya ”linuwih.” Tentu saja kakeknya tidak sekedar mengabadikan momentum ketika listrik masuk wilayahnya. Eyang Panji Rahwana pasti juga berharap si cucu menjadi penerang hati seluruh anggota keluarga dan siapapun yang dekat dengannya.
Listrik Masuk Desa
Warga lama kota Jogja dan mereka yang pernah berada di Jogja sebelum ada listrik mungkin sampai lupa seperti apa rasanya hidup belasan atau puluhan tahun tanpa sarana penerangan ini. Yang jelas, kalau sekarang ada pemadaman listrik tiba-tiba, orang langsung mengeluh dan tidak happy. Bahkan ada yang sampai sesak nafas. Padahal, ratusan tahun Jogja gelap gulita dimalam hari.
Kehadiran Listrik 220 Volt pada sekitar tahun 1978 (yang terjangkau oleh hampir seluruh lapisan masyarakat baik di kota maupun desa) sungguh merupakan keajaiban yang tak terlukiskan (Terimakasih, Pak Harto!) Jogja benar-benar benderang oleh si”dua-dua-nol”. Listrik memungkinkan anak-anak belajar pada malam hari, menyetel radio tanpa batu baterai, dan menghadirkan pesawat televisi ketengah-tengah keluarga. Orang tidak lagi takut keluar malam, roda perekonomian dan keidupan luas berubah drastis menuju kemajuan.
Peralatan kerja bertenaga listrik memajukan perekonomian dan industri rumahan. Mesin jahit yang sebelumnya harus digenjot pakai dua kaki dan kurang efektif serta-merta digantikan dinamo yang jauh lebih murah dan cepat. Tukang kayu tidak lagi krenggosan menggergaji atau menyerut menggunakan pasah konvensional yang hasilnya tidak maksimal. Masyarakat untuk pertama kalinya bisa menikmati es lilin dan es Apollo. Listrik memungkinkan keluarga-keluarga berada membeli kulkas atau lemari es. Para ibu rumah tangga menjadikannya peluang untuk cari tambahan income dengan membuat es yang kemudian diedarkan oleh para tetangga, anak-anak yang tidak bisa melanjutkan sekolah, atau dititipkan di warung-warung di kampung-kampung.
Kehidupan benar-benar bagai disulap dan menjadi serba ajaib. Life-style masyarakat Jogja berubah total. Perubahan radikal terjadi di segala aspek kehidupan. Seperti kata Ibu Kartini, ”Habis gelap terbitlah terang...”
Selain yang serba postif, tentu saja ada juga dampak negatif listrik. Kecelakaan karena tersengat listrik kerap terjadi pada masa-masa awal kehadiran listrik 220 V itu. Korban meninggal karena kesetrom tidak sedikit. Ohya, konon, katanya lho, bagi para makhluk yang tidak kasat mata, listrik membawa petaka. Berbagai gendruwo, hantu, wewe gombel, dan sebagainya, jadi kehilangan kenyamanan dan keademan mereka. Panasnya listrik dan suasana benderang membuat mereka menjauh dari kehidupan manusia. Tinggallah kini kisah-kisah mereka yang kemudian diangkat dalam sinetron-sinetron TV yang bisa kita tonton berkat adanya listrik... .
Sekarang, listrik bagai dihambur-hamburkan. Padahal, sudah ada warning keras tentang global warming.
0 komentar:
Post a Comment