Terutama ketika menyebut nama, baik nama orang, nama tempat, nama kejadian, dan sebagainya, orang Djokja tempo doeloe sering menunjukkan sikap kurang merespek yang punya nama. Kalau orang Barat punya kebiasaan bertanya, ”How do you spell your name?” (Gimana ejaannya?), orang Djokja tempo doeloe kebanyakan tidak peduli dengan hal itu. Mereka sering sekenanya menyebut nama.
Tidak heran, banyak nama tempat yang jadi mlenceng dari nama aslinya. Misalnya Kretek Kewek, yang mustinya Kerkweg (jalan menuju gereja), Kerkop (Kerkhopf), dan lain-lain. Memang sih bisa dimaklumi karena nama asing memang sulit diucapkan. Tapi, mustinya tidak sekenanya menyebut suatu identitas.
Nama-nama kampung yang ada di Djokja kemungkinan berasal dari rasa males menyebut nama lengkap. Misalnya wilayah Mantrijero. Wilayah ini dulu tempat bermarkasnya prajurit kraton yang bernama Mantrijero. Dari pada susuah-susah menyebut dan biar sesuai dengan rasa sreg yang mengucapkan, langsung saja ditrabas jadi ”Mantrijeron.” Begitu pula wilayah-wiayah lain. Ada Daengan, Wirobrajan, Ketanggungan, yang kesemuanya wilayah pemukiman prajurit kraton. Begitu pula rumah-rumah bangsawan atau putra Sultan. Rumah milik Pangeran Hangabehi lantas disebut Ngabean (dulu, di barat alun-alun selatan). Juga rumah-rumah bangsawan lainnya. Sehingga ada Condrodiningratan, Purwodinigratan, Tejakusuman, Suryodiningratan, Cokrodiningratan, Mangkukusuman, dan sebagainya (kecuali Mangkubumen).
Rasa males dan mungkin sekenanya serta semau gue membuat nama-nama yang berawalan b, d, g, dan j, selalu ditambahi bunyi yang menopang sehingga enak dan mudah diucapkan. Contohnya:
Bandung jadi mBandung
Bantul jadi mBantul
Bogor jadi mBogor
Bawen jadi mBawen
Buri jadi mburi
Dagen jadi nDagen
Daengan jadi nDaengan
Dongkelan jadi nDongkelan
Depok jadi nDepok
Dipowinatan jadi nDipowinatan
Deso jadi ndeso
Gowongan jadi nGgowongan
Gunung Kidul jadi nGgunung Kidul
Gowok jadi nGgowok
Glagah jadi nGglagah
Gerjen jadi nGgerjen
Jeron Beteng jadi Njeron mBeteng
Jogonalan jadi nJogonalan
Jomegatan jadi nJomegatan
Janti jadi nJanti
Jatirejo jadi nJatirejo
Jatimulyo jadi nJatimulyo
Dll.
Para pakar Bahasa Jawa pasti tahu peristiwa apa namanya. Mungkin mereka bisa menjelaskan secara ilmiah. Tapi, dari kacamata awam, kecendrungan itu karena rasa males dan menganggap nama tidak terlalu penting. Atau, mungkin demi enak dan gampangnya mengucapkan. Atau, semau saya gimana mengucapkan dengan enak. Seperti halnya orang sekenanya menrabas nama tetangga, misalnya Joyo Sumarto jadi Jo Marto, Abdul Slamet jadi Dul Slamet. Harjo Winangun jadi Jo Mangun.
Entah kenapa, ada kesan seenak udel menyebut nama orang atau tempat. Kalau orang bisnis jaman sekarang menyerahkan brand produk pada copy writer dan bersedia membayar mahal agar nama perusahaan atau jualannya, entah itu motor, ayam goreng, kampus, mobil, rokok, dan lain-lain, jadi trendy dan hoki, dulu nama begitu saja dibuat. Cuma berdasar ciri fisik atau kesan pertama si pembuat, cukup sudah. Belum ada pemikiran menciptakan nama yang indah, enak disebut, atau bakal membawa aura positif.
Coba perhatikan nama-nama makanan tradisional atau jajan pasar. Nggak ada yang bagus dan trendy. Nih, kalau didaftar, banyak sekali. Apalagi kalau anda ikutan nambahi:
Awug-awug
Apem
Arem-arem
Bol Jaran
Bothok
Bergedel
Brondong
Brubus
Cenil
Cothot
Cendhol
Clorot
Combro
Criping
Emping
Enthog-enthog
Galundheng
Gembrot
Gempol
Geblek
Geplak
Gogik
Gudeg
Gembus
Gethuk
Gathot
Grendul
Grontol
Growol
Jadah
Kethak
Klepon
Krasikan
Legendar
Lempeng
Lemper
Lenthuk
Moto Kebo
Ongol-ongol
Penthil Kere
Rondho Sisik
Rondho Royal
Sawut
Srundeng
Tahu Susur
Tahu Brontak
Tempe Benguk
Tempe Bongkrek
Thiwul
Tholpit
Unthuk Cacing
Wajik
dan lain-lain
Bunyinya tidak ada yang manis dan elegan. Artinya pun juga tidak bagus. Padahal, rasa jajanan diatas mayoritas enak. Penamaan yang ngawur justru membuat orang males bahkan risih. Gimana tidak. ”Unthuk Cacing” kok nama makanan. Aneh, kan? Juga ”Tholpit,” jajanan khas Bantul itu. Kalau mau beli, gimana bilangnya pada si penjual? Kan sungkan dan malu. Apalagi, nama itu singkatan dari Mr. P yang terjepit. Ih, nggak banget...
Nama-nama tidak pantas juga sering dipakai untuk menamai tanaman. Ada kembang ”Gawuk-gawukan” (maaf), karena begitu memandang bunga itu, asosiasi orang langsung ke bentuk vagina. Juga daun ”Entut-entutan,” dan sebagainya. Kalau itu tempo doeloe, mau gimana lagi.
Tidak heran, banyak nama tempat yang jadi mlenceng dari nama aslinya. Misalnya Kretek Kewek, yang mustinya Kerkweg (jalan menuju gereja), Kerkop (Kerkhopf), dan lain-lain. Memang sih bisa dimaklumi karena nama asing memang sulit diucapkan. Tapi, mustinya tidak sekenanya menyebut suatu identitas.
Nama-nama kampung yang ada di Djokja kemungkinan berasal dari rasa males menyebut nama lengkap. Misalnya wilayah Mantrijero. Wilayah ini dulu tempat bermarkasnya prajurit kraton yang bernama Mantrijero. Dari pada susuah-susah menyebut dan biar sesuai dengan rasa sreg yang mengucapkan, langsung saja ditrabas jadi ”Mantrijeron.” Begitu pula wilayah-wiayah lain. Ada Daengan, Wirobrajan, Ketanggungan, yang kesemuanya wilayah pemukiman prajurit kraton. Begitu pula rumah-rumah bangsawan atau putra Sultan. Rumah milik Pangeran Hangabehi lantas disebut Ngabean (dulu, di barat alun-alun selatan). Juga rumah-rumah bangsawan lainnya. Sehingga ada Condrodiningratan, Purwodinigratan, Tejakusuman, Suryodiningratan, Cokrodiningratan, Mangkukusuman, dan sebagainya (kecuali Mangkubumen).
Rasa males dan mungkin sekenanya serta semau gue membuat nama-nama yang berawalan b, d, g, dan j, selalu ditambahi bunyi yang menopang sehingga enak dan mudah diucapkan. Contohnya:
Bandung jadi mBandung
Bantul jadi mBantul
Bogor jadi mBogor
Bawen jadi mBawen
Buri jadi mburi
Dagen jadi nDagen
Daengan jadi nDaengan
Dongkelan jadi nDongkelan
Depok jadi nDepok
Dipowinatan jadi nDipowinatan
Deso jadi ndeso
Gowongan jadi nGgowongan
Gunung Kidul jadi nGgunung Kidul
Gowok jadi nGgowok
Glagah jadi nGglagah
Gerjen jadi nGgerjen
Jeron Beteng jadi Njeron mBeteng
Jogonalan jadi nJogonalan
Jomegatan jadi nJomegatan
Janti jadi nJanti
Jatirejo jadi nJatirejo
Jatimulyo jadi nJatimulyo
Dll.
Para pakar Bahasa Jawa pasti tahu peristiwa apa namanya. Mungkin mereka bisa menjelaskan secara ilmiah. Tapi, dari kacamata awam, kecendrungan itu karena rasa males dan menganggap nama tidak terlalu penting. Atau, mungkin demi enak dan gampangnya mengucapkan. Atau, semau saya gimana mengucapkan dengan enak. Seperti halnya orang sekenanya menrabas nama tetangga, misalnya Joyo Sumarto jadi Jo Marto, Abdul Slamet jadi Dul Slamet. Harjo Winangun jadi Jo Mangun.
Entah kenapa, ada kesan seenak udel menyebut nama orang atau tempat. Kalau orang bisnis jaman sekarang menyerahkan brand produk pada copy writer dan bersedia membayar mahal agar nama perusahaan atau jualannya, entah itu motor, ayam goreng, kampus, mobil, rokok, dan lain-lain, jadi trendy dan hoki, dulu nama begitu saja dibuat. Cuma berdasar ciri fisik atau kesan pertama si pembuat, cukup sudah. Belum ada pemikiran menciptakan nama yang indah, enak disebut, atau bakal membawa aura positif.
Coba perhatikan nama-nama makanan tradisional atau jajan pasar. Nggak ada yang bagus dan trendy. Nih, kalau didaftar, banyak sekali. Apalagi kalau anda ikutan nambahi:
Awug-awug
Apem
Arem-arem
Bol Jaran
Bothok
Bergedel
Brondong
Brubus
Cenil
Cothot
Cendhol
Clorot
Combro
Criping
Emping
Enthog-enthog
Galundheng
Gembrot
Gempol
Geblek
Geplak
Gogik
Gudeg
Gembus
Gethuk
Gathot
Grendul
Grontol
Growol
Jadah
Kethak
Klepon
Krasikan
Legendar
Lempeng
Lemper
Lenthuk
Moto Kebo
Ongol-ongol
Penthil Kere
Rondho Sisik
Rondho Royal
Sawut
Srundeng
Tahu Susur
Tahu Brontak
Tempe Benguk
Tempe Bongkrek
Thiwul
Tholpit
Unthuk Cacing
Wajik
dan lain-lain
Bunyinya tidak ada yang manis dan elegan. Artinya pun juga tidak bagus. Padahal, rasa jajanan diatas mayoritas enak. Penamaan yang ngawur justru membuat orang males bahkan risih. Gimana tidak. ”Unthuk Cacing” kok nama makanan. Aneh, kan? Juga ”Tholpit,” jajanan khas Bantul itu. Kalau mau beli, gimana bilangnya pada si penjual? Kan sungkan dan malu. Apalagi, nama itu singkatan dari Mr. P yang terjepit. Ih, nggak banget...
Nama-nama tidak pantas juga sering dipakai untuk menamai tanaman. Ada kembang ”Gawuk-gawukan” (maaf), karena begitu memandang bunga itu, asosiasi orang langsung ke bentuk vagina. Juga daun ”Entut-entutan,” dan sebagainya. Kalau itu tempo doeloe, mau gimana lagi.
Sayangnya, sikap kurang merespek nama orang lain itu sepertinya terwarisi oleh beberapa orang dari generasi masa kini. Contohnya, pemilu yang lalu. Pemilu yang baru lalu juga penuh dengan nama-nama baru dan aneh yang membuat si empunya nama bengong atau tersentak ketika namanya dipanggil. Ada ”Dian Ratri” yang berubah jadi ”Diah Ratih, ” ”Supardan” yang tiba-tiba jadi ”Padang Suryo,” ”Nurina” jadi ”Nuraini,” ”Warasti” jadi ”Warsiti,” dan masih banyak lagi. Bayangkan, kalau ganti nama harus bikin nasi urap alias bancaan, berapa musti dikeluarkan oleh team KPU untuk mengganti nama-nama warganya.
Tapi, ada juga lho penamaan yang positif. Yaitu nama atau brand becak dan krupuk. Pada slebor becak bisa kita lihat nama-nama yang bagus. Mulai dari nama orang dan wayang, misalnya Handayani, Arjuna, Semar, Sri, dan lain-lain. Juga nama yang mengandung harapan: Makmur, Restu, Lancar, dst. Nama-nama yang tertera pada kaleng krupuk di warung-warung juga serba positif: Subur, Eco, Marem, dll.
Mbok ya seperti itu kalau memberi nama. Banyak lho, nama tempo doeloe yang bernuansa negatif. Misalnya Sungkowo (duka cita), Prihatin, Sujono (cemburu), Raharto (nggak punya harta), Sunyi, dan sebagainya. Maksudnya mungkin untuk mengenang apa yang tengah dialami oleh si pemberi nama (orang tua). Tapi, kalau nama berarti sebuah harapan, masak sih berharap yang negatif-negatif, jelek-jelek, sedih-sedih? Kita bisa lihat bagaimana nama Thukul sangat positif bagi mas Thukul Arwana, juga nama Bill Gates, gerbang-gerbang dollar bills, bagi si pemilik Microsoft dari Amerika itu.
Barangkali benar, bahwa naming… pemberian nama, bukan masalah naming nami, cuma nama. Juga penyebutan nama. Jangankan sederet kata yang menyusun sebuah nama. Satu huruf pun bisa mengubah makna. Nama saya PANDAMNURANI. Pandam artinya dian atau lampu. Nama yang tertulis di STNK, PADAMNURANI. Hanya selisih satu huruf kecil ”n,” tapi artinya langsung bertolak belakang. Begitulah yang terjadi pada STNK motor saya. Semoga nurani saya tidak betul-betul mbleret , dan akhirnya padam.
Tapi, ada juga lho penamaan yang positif. Yaitu nama atau brand becak dan krupuk. Pada slebor becak bisa kita lihat nama-nama yang bagus. Mulai dari nama orang dan wayang, misalnya Handayani, Arjuna, Semar, Sri, dan lain-lain. Juga nama yang mengandung harapan: Makmur, Restu, Lancar, dst. Nama-nama yang tertera pada kaleng krupuk di warung-warung juga serba positif: Subur, Eco, Marem, dll.
Mbok ya seperti itu kalau memberi nama. Banyak lho, nama tempo doeloe yang bernuansa negatif. Misalnya Sungkowo (duka cita), Prihatin, Sujono (cemburu), Raharto (nggak punya harta), Sunyi, dan sebagainya. Maksudnya mungkin untuk mengenang apa yang tengah dialami oleh si pemberi nama (orang tua). Tapi, kalau nama berarti sebuah harapan, masak sih berharap yang negatif-negatif, jelek-jelek, sedih-sedih? Kita bisa lihat bagaimana nama Thukul sangat positif bagi mas Thukul Arwana, juga nama Bill Gates, gerbang-gerbang dollar bills, bagi si pemilik Microsoft dari Amerika itu.
Barangkali benar, bahwa naming… pemberian nama, bukan masalah naming nami, cuma nama. Juga penyebutan nama. Jangankan sederet kata yang menyusun sebuah nama. Satu huruf pun bisa mengubah makna. Nama saya PANDAMNURANI. Pandam artinya dian atau lampu. Nama yang tertulis di STNK, PADAMNURANI. Hanya selisih satu huruf kecil ”n,” tapi artinya langsung bertolak belakang. Begitulah yang terjadi pada STNK motor saya. Semoga nurani saya tidak betul-betul mbleret , dan akhirnya padam.
0 komentar:
Post a Comment