Rayahan

Author: Therich Ninung / Label

Rayahan alias berebut sesuatu yang dilempar atau dijatuhkan benar-benar khas tempo doeloe. Tidak mengherankan, hingga sekarang action yang namanya ”ngrayah,” dan kemudian berkembang menjadi menjarah, sulit diatasi. Karena saking telanjur mendarah daging.

Bagaimana tidak mendarah daging, menjadi kebiasaan, ciri wanci. Banyak sekali pendidikan rayahan dikenyam oleh masyarakat Jawa. Yang saya ketahui, di Yogya. Misalnya, ritual nyebar udik-udik yang dilakukan oleh Sultan sebagai simbol sedekah kepada rakyat jelata. Karena keping-keping uang itu dilemparkan ke hadapan mereka, otomatis para kawula mengambilinya dengan merayah. Demi ”ngalap berkah” mereka rela berdesak-desakan dan adu kepala dengan sesama perayah.

Intensitas rayahan semakin meningkat karena selain nyebar udik-udik, ada hajad Dalem lain yang juga memberi kesempatan rakyat jelata rayahan. Yaitu ketika ada Garebeg. Padahal, dalam satu tahun ada beberapa Garebeg. Pada tiap garebeg, Sultan selalu membuat Gunungan yang berisi hasil bumi atau makanan. Dari nasi, ketan, sayur-mayur, lauk-pauk (kerupuk) yang dibentuk sebagai gunungan. Gunungan barangkali merupakan simbol rasa syukur atas kemakmuran yang dianugerahkan Tuhan dan niat berbagai rejeki pada rakyat. Begitu sampai di Masjid Gede, gunungan akan ditumplak dan rakyat diberi kesempatan merayahnya. Rayahan pun terjadilah. Seringkali ada yang sampai pingsan dalam rayahan itu.

Di suatu Garebeg tahun 1971, ketika kelas empat SD, saya ikut merayah gunungan. Karena tubuh saya kecil, dengan mudah bisa menelusup diantara orang-orang yang berdesakan dan bertumpukan di atas gunungan yang ditumplak di halaman belakang Masjid Gede. Saya berhasil menggeret dua lempeng (kerupuk) warna-warni dan membetot dua telur. Rasanya senang sekali. Tapi, ketika saya keluar dengan susah payah dari tumpukan orang, ada yang nyerobot kerupuk saya tanpa bisa saya cegah. Akhirnya, saya pulang hanya membawa satu kerupuk dan dua telur. Tubuh saya basah kena keringat orang-orang.

Sampai di rumah, dengan bangga saya tunjukan hasil rayahan gunungan itu pada ayah. Maksud saya, agar dipasang di senthong tengah atau atas pintu seperti yang dilakukan oleh para tetangga. Tapi, ayah saya malah menyuruh saya duduk dan mengingatkan agar tidak ikut rayahan apapun lagi. Berbahaya, bisa ”pendeng” alias gepeng terinjak-injak, atau tergencet perayah lain. Apalagi tubuh saya kecil, imut-imut.

Yang lebih ditegaskan ayah, rayahan itu tidak terhormat. Kalau menginginkan sesuatu mustinya berjuang mendapatkannya melalui proses yang baik. Bukan dengan mengambil yang ”diuncalkan” atau dilemparkan oleh pihak lain atau yang potensial jatuh ke hadapan kita.
”Kenapa dibilang ngalap berkah?” tanya saya waktu itu. Ayah dengan mantap menjawab, ada berkah yang lebih besar dari Tuhan ketika kita berusaha keras mendapatkan sesuatu dengan cara terhormat dan tanpa menginjak-injak harga diri. Waktu itu saya belum begitu paham perkataan ayah karena dia tidak menggunakan bahasa yang sesuai untuk anak-anak.

Ada rayahan lain yang populer di kalangan anak-anak. Yaitu rayahan layangan putus. Ketika adu layang-layang dan salah satu putus benang alias kalah, maka layang-layang dan benang itu dianggap menjadi milik publik. Siapa yang bisa mendapatkannya boleh memilikinya. Terjadilah rebutan mendapatkan layang-layang yang melayang kleyangan dibawa angin.. Anak-anak akan kontan berlarian mengejar si layang-layang putus. Bagaikan kalap, mereka menerabas apapun, naik atap rumah orang, menyeberang jalan, tanpa menghiraukan bahaya yang bisa terjadi. Ketika layang-layang akhirnya semakin merendah dan terjangkau tangan anak-anak, terjadilah rayahan itu. Ada lagunya, ”Ayo dha rayahan... rayahan... suwek-suwekan...” ”Mari berebut, rayahan... sobek-sobekan...” Karena maunya dia yang dapet tapi tidak bisa, anak nakal akan menyanyikan lagu itu dan artinya sah-sah saja menyobek-nyobek layang-layang yang bahkan sudah berada di tangan anak lain. Maksudnya, agar tak satupun memiliki layang-layang itu.

Seperti juga actionnya, kata ”rayahan” akhirnya berkonotasi negatif. Orang yang suka merayah sesuatu, dianggap kurang bermartabat. Model rayahan yang lebih parah adalah menjarah. Menjarah milik rakyat, milik publik, atau milik orang lain, milik pihak yang dianggap musuh, sama tidak bermartabatnya dengan merayah.

Tapi, itulah yang sejak Reformasi semakin membudaya. Sekarang banyak orang menjadi penguasa baru. Penguasa trotoar, halaman rumah orang, jalan-jalan di sekitar pasar, perempatan jalan, dan wilayah-wilayah milik publik. Tanpa wigah-wigih orang merayah dan menjarah hak-hak dan privacy orang lain dalam berbagai bentuk dan versi. Kayak dijaman Revolusi Perancis saja.

Tragedi Pasuruan Lebaran yang silam, masalah Sultan’s grounds dan area PJKA, palak-memalak, ekonomi biaya tinggi yang membuat para investor boyongan ke negara lain, merupakan efek rayahan oleh massa.

Benar-benar hasil pelajaran tempo doeloe yang berhasil jadi PR bikin mumet untuk masa kini.

0 komentar: