Yangdrim penjual kembang gula cicak warna-warni yang sangat disukai anak-anak tempo doeloe. Dulu saya kira Yangdrim tuh nama pemilik warung, seorang ibu tua yang pendengarannya sudah sangat berkurang. Saya kira “Drim” artinya tuli. Habis, kalau beli di situ harus teriak-teriak dulu. Ternyata, dari kakak sepupu saya, Mas Yoyok, saya dapat info, nama itu julukan saja buat warung itu. Pasalnya, mahasiswa yang mondok (kost) di situ sering menyanyikan lagu favorit, yang salah satu syairnya berbunyi “young dream.” Kalau tidak salah, dari lagu Cliff Richard yang berjudul “Young One.” Karena orang lewat sering mendengar ”yangdrim... yangdrim” dari rumah itu, warung itu lantas dijuluki warung Yangdrim.
Begitulah era tujuhpuluhan, masa-masa awal pemerintahan Orde Baru. Everybody sang songs. Orang begitu enjoy menyanyi. Menyanyi keras-keras, menyanyi di kamar mandi, asyik-asyik aja. Tidak peduli segembreng atau sesomber apa suaranya, orang pede saja menyanyi. Pas banget dengan ajakan The Carpenters lewat lagunya “Sing,” ”Don’t worry that it isn’t good enough for anyone else to hear, just sing, sing a song.” Sepertinya, pumpung menyanyi tidak dilarang.
Edan, po, nyanyi aja kok dilarang-larang?! Mana ada? Begitu barangkali anda bertanya. Eh, jangan keliru. Pernah ada dalam sejarah kita, lho, pelarangan menyanyi. Meski bagi saya sendiri yang waktu itu masih kecil, capet-capet alias nggak terlalu ingat banget. Kalau tidak salah, sebelum tahun enamlima. Terutama lagu-lagu Barat. Ketahuan nyanyi lagu-lagu Barat (bahkan sekedar menyetel atau mendengarkan lewat radio luar negeri) bisa masuk penjara. Lagu atau musik Barat, yang disebut ”Ngak- Ngik-Ngok,” dilarang keras. Itu mah, revolusi kebudayaan ala Bung Karno. Tepatnya gerakan anti Amerika atau Go to Hell Yankee, seperti yang juga dilakukan oleh Mao di RRT. Maksud Bung Karno, melindungi kaum muda dari Neoimperialisme. .
Jadi, nyanyi pernah tidak sebebas biasanya. Yang waktu itu mengalami dan lagi hot-hotnya jadi anak muda, pasti tahu seperti apa rasanya dilarang-larang mengekspresikan feeling. Apalagi, kalau kebetulan lagi jatuh cinta atau patah hati. Pasti bener-bener merasa terbungkam. Garing tidak tersentuh keindahan dan kelembutan. Saya masih ingat bagaimana Om saya, Om Not, yang waktu itu sekolah di SMA De Britto, sering sembunyi-sembunyi nekad menempelkan telinga di radio yang disetel pelan-pelan untuk mendengarkan lagu favoritnya, ”Don’t Forget to Remember.”
Kalau setelah itu menyanyi jadi kebutuhan dan siapapun tanpa wigah-wigih dan malu-malu berteriak-teriak menyanyi sepanjang hari, seperti Mas Yangdrim, bisa dimaklumi. Apalagi, dijaman itu belum ada tape recorder. Jadi, radio benar-benar menjadi satu-satunya acuan masyarakat. Apa yang diputar RRI, itulah yang dikenal publik. Hebatnya, keinginan generasi muda jaman itu untuk bisa hafal dan nyanyi suatu lagu sangat besar. Berbekal buku notes kecil bergambar monyet nulis dan pensil ungu (waktu itu belum ada balpoin), mereka mencatat syair lagu yang terdengar dari radio. Seringkali setelah lagu berakhir, syair yang mereka catat belum komplit. Musti nunggu sampai RRI memutar lagi lagu yang sama. Dan itu bisa berarti keesokan harinya atau mungkin beberapa hari kemudian. Begitu dengar lagu itu diputar lagi, kontan mereka akan berlarian ke rumah tetangga yang punya radio, menempelkan telinga di jendela, sekedar numpang nguping lagu yang mereka suka dan melengkapi syair lagu yang belum tertulis semuanya dan masih bolong-bolong di sana-sini itu. Diperlukan berminggu-minggu untuk melengkapi satu syair lagu saja. Terlebih kalau itu lagu Barat atau berbahasa Inggris.
Udah gitu, karna penguasaan Bahasa Inggrisnya terbatas, yang berhasil dicatat bisa aneh-aneh. ”But darling” jadi “pathaling,” ”You got the world” bisa aja jadi ”You got the lo,” dan lain-lain. But, every body was happy. Ketika perut lapar karna perekonomian baru saja mulai merangkak, nyanyi benar-benar jadi hiburan yang sangat murah meriah. Sampai-sampai, syair lagu The Begees, ”It’s only world” jadi populer di masyarakat dan dinyanyikan, ”Iso ngliwet/ Ngliwet sego anget...” Lagu yang ”bikin kenyang” meski nasinya tidak kunjung datang...
Tapi, ternyata itu pula salah satu cara efektif belajar Bahasa Inggris. Dengan mencatat syair lagu, tanpa sadar seseorang belajar lewat listening practice. Begitu lyric didapat, aktivitas berikutnya pastilah mencocokkan dengan kamus. Artinya, belajar vocabularies. Setelah itu, berusaha menyanyikan lagu itu semirip mungkin dengan penyanyinya. Berarti, berusaha mengucapkannya dengan pronunciation yang pas. Bisa lagunya, sering menyanyikan, tapi nggak tahu artinya? Buat apa? So, pastilah ada upaya mengetahui maknanya dengan mencoba menerjemahkan. Akhirnya, selain happy menyanyi, aktivitas nyatat lagu membuat seseorang belajar Bahasa Inggris dengan cara yang mengasyikkan.
Teman saya, Pak Herman, sampai punya koleksi ribuan lagu Barat yang dia kumpulkan sejak sekolah dan dari hasil tukar-menukar dengan teman-teman dan kerabatnya yang punya hobby sama. Bahasa Inggrisnya bagus dan orangnya selalu ceria. Ketika terakhir bertemu, dia tampak awet muda. Younger than his age. Efek menyanyi...
Sampai tahun tujuhpuluhan, menyanyi jadi membudaya. Band-band banyak sekali dan seluruh masyarakat seperti mengikuti. Pada era inilah penyanyi-penyanyi legendaris dan lagu-lagu yang sekarang kita anggap nostalgia benar-benar merebak membuat seluruh masyarakat gembira ria meski perutnya keroncongan. Sentuhan lembut dan gembira musik membuat orang tidak marah meski kondisi kehidupan, terutama perekonomian, parah.
Koes Plus dalam hal ini pantas mendapat penghargaan tersendiri karena lagu-lagunya yang menyentuh segala kalangan berhasil meredam kerisauan dan jeritan kelaparan masyarakat luas. Para musikus dan penulis lyrik lagu seperti Zaenal Arifin yang menceriakan masyarakat dengan lagu-lagu ciptaannya seperti lagu ”Teluk Bayur” sangat berjasa pada bangsa ini. Juga penyanyi-penyanyi seperti Ernie Johan, Tety Kadi, Christine, Lilis Suryani, Rahmat Kartolo, Titik Sandhora dan Muchsin, dan lain-lain. Juga band-band Zaenal Combo, Patty Bersaudara, Trio Bimbo, The Mercy’s, Panbers, hingga kelompok si raja dangdut Rhoma Irama. Pada era ini Titik Puspa patut dicatat secara khusus karena setelah Zaenal Arifin, A. Riyanto dan dialah yang banyak berkiprah menghidupkan musik dan melejitkan banyak penyanyi legendaris. Belum lagi, mereka yang namanya tidak dikenal publik tapi karyanya telah menghibur masyarakat luas.
Musik membuat orang Indonesia tetap gembira meski kondisi keuangan sangat minus. Daya juang dan martabat sebagai manusia tetap tinggi.hingga langka sekali orang nyremimih dan minta dikasihani. Semua punya harapan, terutama generasi mudanya. Djokja juga penuh anak muda dari Sumatera, Kalimantan, dan daerah-daerah lain di Jawa, yang dengan heroik mengadu nasib dan kuliah dengan segala keterbatasannya The young generation’s dream... to live better. Yangdrim.
Begitulah era tujuhpuluhan, masa-masa awal pemerintahan Orde Baru. Everybody sang songs. Orang begitu enjoy menyanyi. Menyanyi keras-keras, menyanyi di kamar mandi, asyik-asyik aja. Tidak peduli segembreng atau sesomber apa suaranya, orang pede saja menyanyi. Pas banget dengan ajakan The Carpenters lewat lagunya “Sing,” ”Don’t worry that it isn’t good enough for anyone else to hear, just sing, sing a song.” Sepertinya, pumpung menyanyi tidak dilarang.
Edan, po, nyanyi aja kok dilarang-larang?! Mana ada? Begitu barangkali anda bertanya. Eh, jangan keliru. Pernah ada dalam sejarah kita, lho, pelarangan menyanyi. Meski bagi saya sendiri yang waktu itu masih kecil, capet-capet alias nggak terlalu ingat banget. Kalau tidak salah, sebelum tahun enamlima. Terutama lagu-lagu Barat. Ketahuan nyanyi lagu-lagu Barat (bahkan sekedar menyetel atau mendengarkan lewat radio luar negeri) bisa masuk penjara. Lagu atau musik Barat, yang disebut ”Ngak- Ngik-Ngok,” dilarang keras. Itu mah, revolusi kebudayaan ala Bung Karno. Tepatnya gerakan anti Amerika atau Go to Hell Yankee, seperti yang juga dilakukan oleh Mao di RRT. Maksud Bung Karno, melindungi kaum muda dari Neoimperialisme. .
Jadi, nyanyi pernah tidak sebebas biasanya. Yang waktu itu mengalami dan lagi hot-hotnya jadi anak muda, pasti tahu seperti apa rasanya dilarang-larang mengekspresikan feeling. Apalagi, kalau kebetulan lagi jatuh cinta atau patah hati. Pasti bener-bener merasa terbungkam. Garing tidak tersentuh keindahan dan kelembutan. Saya masih ingat bagaimana Om saya, Om Not, yang waktu itu sekolah di SMA De Britto, sering sembunyi-sembunyi nekad menempelkan telinga di radio yang disetel pelan-pelan untuk mendengarkan lagu favoritnya, ”Don’t Forget to Remember.”
Kalau setelah itu menyanyi jadi kebutuhan dan siapapun tanpa wigah-wigih dan malu-malu berteriak-teriak menyanyi sepanjang hari, seperti Mas Yangdrim, bisa dimaklumi. Apalagi, dijaman itu belum ada tape recorder. Jadi, radio benar-benar menjadi satu-satunya acuan masyarakat. Apa yang diputar RRI, itulah yang dikenal publik. Hebatnya, keinginan generasi muda jaman itu untuk bisa hafal dan nyanyi suatu lagu sangat besar. Berbekal buku notes kecil bergambar monyet nulis dan pensil ungu (waktu itu belum ada balpoin), mereka mencatat syair lagu yang terdengar dari radio. Seringkali setelah lagu berakhir, syair yang mereka catat belum komplit. Musti nunggu sampai RRI memutar lagi lagu yang sama. Dan itu bisa berarti keesokan harinya atau mungkin beberapa hari kemudian. Begitu dengar lagu itu diputar lagi, kontan mereka akan berlarian ke rumah tetangga yang punya radio, menempelkan telinga di jendela, sekedar numpang nguping lagu yang mereka suka dan melengkapi syair lagu yang belum tertulis semuanya dan masih bolong-bolong di sana-sini itu. Diperlukan berminggu-minggu untuk melengkapi satu syair lagu saja. Terlebih kalau itu lagu Barat atau berbahasa Inggris.
Udah gitu, karna penguasaan Bahasa Inggrisnya terbatas, yang berhasil dicatat bisa aneh-aneh. ”But darling” jadi “pathaling,” ”You got the world” bisa aja jadi ”You got the lo,” dan lain-lain. But, every body was happy. Ketika perut lapar karna perekonomian baru saja mulai merangkak, nyanyi benar-benar jadi hiburan yang sangat murah meriah. Sampai-sampai, syair lagu The Begees, ”It’s only world” jadi populer di masyarakat dan dinyanyikan, ”Iso ngliwet/ Ngliwet sego anget...” Lagu yang ”bikin kenyang” meski nasinya tidak kunjung datang...
Tapi, ternyata itu pula salah satu cara efektif belajar Bahasa Inggris. Dengan mencatat syair lagu, tanpa sadar seseorang belajar lewat listening practice. Begitu lyric didapat, aktivitas berikutnya pastilah mencocokkan dengan kamus. Artinya, belajar vocabularies. Setelah itu, berusaha menyanyikan lagu itu semirip mungkin dengan penyanyinya. Berarti, berusaha mengucapkannya dengan pronunciation yang pas. Bisa lagunya, sering menyanyikan, tapi nggak tahu artinya? Buat apa? So, pastilah ada upaya mengetahui maknanya dengan mencoba menerjemahkan. Akhirnya, selain happy menyanyi, aktivitas nyatat lagu membuat seseorang belajar Bahasa Inggris dengan cara yang mengasyikkan.
Teman saya, Pak Herman, sampai punya koleksi ribuan lagu Barat yang dia kumpulkan sejak sekolah dan dari hasil tukar-menukar dengan teman-teman dan kerabatnya yang punya hobby sama. Bahasa Inggrisnya bagus dan orangnya selalu ceria. Ketika terakhir bertemu, dia tampak awet muda. Younger than his age. Efek menyanyi...
Sampai tahun tujuhpuluhan, menyanyi jadi membudaya. Band-band banyak sekali dan seluruh masyarakat seperti mengikuti. Pada era inilah penyanyi-penyanyi legendaris dan lagu-lagu yang sekarang kita anggap nostalgia benar-benar merebak membuat seluruh masyarakat gembira ria meski perutnya keroncongan. Sentuhan lembut dan gembira musik membuat orang tidak marah meski kondisi kehidupan, terutama perekonomian, parah.
Koes Plus dalam hal ini pantas mendapat penghargaan tersendiri karena lagu-lagunya yang menyentuh segala kalangan berhasil meredam kerisauan dan jeritan kelaparan masyarakat luas. Para musikus dan penulis lyrik lagu seperti Zaenal Arifin yang menceriakan masyarakat dengan lagu-lagu ciptaannya seperti lagu ”Teluk Bayur” sangat berjasa pada bangsa ini. Juga penyanyi-penyanyi seperti Ernie Johan, Tety Kadi, Christine, Lilis Suryani, Rahmat Kartolo, Titik Sandhora dan Muchsin, dan lain-lain. Juga band-band Zaenal Combo, Patty Bersaudara, Trio Bimbo, The Mercy’s, Panbers, hingga kelompok si raja dangdut Rhoma Irama. Pada era ini Titik Puspa patut dicatat secara khusus karena setelah Zaenal Arifin, A. Riyanto dan dialah yang banyak berkiprah menghidupkan musik dan melejitkan banyak penyanyi legendaris. Belum lagi, mereka yang namanya tidak dikenal publik tapi karyanya telah menghibur masyarakat luas.
Musik membuat orang Indonesia tetap gembira meski kondisi keuangan sangat minus. Daya juang dan martabat sebagai manusia tetap tinggi.hingga langka sekali orang nyremimih dan minta dikasihani. Semua punya harapan, terutama generasi mudanya. Djokja juga penuh anak muda dari Sumatera, Kalimantan, dan daerah-daerah lain di Jawa, yang dengan heroik mengadu nasib dan kuliah dengan segala keterbatasannya The young generation’s dream... to live better. Yangdrim.
0 komentar:
Post a Comment