Pernah dengar istilah Cagak Anim? Cagak Anim adalah sebutan orang Jogja tempo doeloe untuk tiang listrik. Sebenarnya ANIM adalah nama perusahaan listrik jaman Belanda. Singkatan dari ... . Banyak orang Jogja menyebut listrik dengan ANIM. ”Wah, dia orang kaya. Rumahnya pakai ANIM.” Maksudnya, penerangannya pakai listrik. Hingga tahun 70-an sedikit sekali rumah berlistrik. Tegangan listrik untuk rumah-rumah biasanya 110 Volt. Dalam satu kampung, mungkin hanya satu-dua yang punya fasilitas listrik. Kecuali, di wilayah-wilayah elit seperti Kotabaru, Komplek Colombo, Mantrijeron, Prawirotaman, Mangkuyudan, Maliboro, dan tentu saja Kraton. Dan juga, rumah-rumah keluarga bangsawan (ndalem-ndalem). Meskipun punya listrik, orang tidak menyalakannya dengan kencar-kencar seperti sekarang. Bahkan, ada yang demi pengiritan memasang bolam atau plentong 5 Watt-an di beberapa titik. Jadi, meskipun punya listrik tapi rumahnya sama redupnya dengan rumah mereka yang hanya punya lampu senthir.
Dulu tiang-tiang listrik juga sudah masuk kampung-kampung. Jadi, fasilitas listrik tidak hanya terdapat di jalan-jalan utama kota. Orang menyebut tiang listrik ”cagak anim.” Cagak anim sengaja dibuat tinggi sehingga kabel-kabel yang melintas di atas rumah-rumah tidak menyenggol dahan-dahan pohon. Tujuannya agar pohon-pohon bisa tumbuh tinggi, besar, dan rindang. Halaman-halaman rumah penuh dengan pepohonan sehingga Jogja jauh lebih hijau dan sehat dibanding sekarang. Persis gambaran yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya mengenai Jalan raya Dandeles, dari Anyer sampai Panarukan. Cagak Anim dianggap berbahaya. Tentu saja, karena memang sarat kumparan yang mengandung arus listrik besar. Maka, tidak boleh dipegang sembarangan oleh sembarang orang. Biasanya pada bagian tengah, sebatas mata memandang, ada peringatan yang disimbolkan dengan gambar kilat, yang artinya ”Awas nyetrom.” Peringatan serupa ada di gardu-gardu listrik seperti yang kita jumpai di sebelah timur Natur Garuda Hotel. Peringatan pada gardu-gardu biasanya berbahasa Belanda dan diberi terjemahan bahasa Jawa, ”Sing Ngemek Mati.” Bahasa Indonesianya, ”Siapa pegang, mati!” Peringatan yang sangat keras dan to the point. Padahal, itu terjemahan bebas. Kalau diterjemahkan dengan benar, bunyinya tidak seperti itu. Tapi, begitulah cara pemerintah waktu itu memberi warning. Yang penting efektif untuk menakut-nakuti orang agar tidak seenaknya memegang-megang gardu listrik bertegangan tinggi.
Kenapa sampai diberi peringatan seperti itu, pasti ada alasannya. Suka ataupun tidak, kita mesti mengakui, kebiasaan jelek pegang-pegang atau ”mek-mekan” (Bah. Jawa), telah dilabelkan pada orang Indonesia pada umumnya. Peringatan, ”Dilarang pegang,” ”Jangan disentuh,” ”Don’t touch,” sering kita temui di sekitar kita.Mungkin karena sejak dulu hingga kini kita cenderung sulit membendung rasa ingin tahu dan ingin pegang. Malu memang, musti diingatkan atau ditegur seperti itu. Tapi, mau gimana lagi. Bahkan, dalam pameran lukisan atau karya seni di abad ke-21 ini, masih sering kita dapati tali pembatas agar pengunjung tidak mendekati karya dan ”pegang-pegang.” Wah...
0 komentar:
Post a Comment