From rambut panjang, potong bathok, gelung, kucir, krool, hingga potong London. Itulah gaya-gaya rambut Djokja tempo doeloe. Sampai tahun 1980-an, masih sering kita lihat ibu-ibu mengenakan kain jarik. Otomatis, tatanan rambutnya ya spesial. Gelungan. Sekarang, busana dan tatanan rambut seperti itu masih bisa kita lihat di pasar-pasar tradisional. Banyak wanita desa yang masih melestarikan pakaian dan gaya rambut tersebut.
Selain gelung, banyak gaya rambut bermunculan di Djokja. Kira-kira sekitar tahun 68-an, bersamaan dengan masuknya TV, gaya rambutpun mengalami perkembangan pesat. Televisi tahun 1970-an menayangkan iklan-iklan asing yang menampilkan wanita-wanita cantik berambut gaya. Ada yang keriting, potong bob, agogo, dan lain-lain. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan lain-lain, rambut keriting sangat diminati dan menjadi trend. Iklan hairspray banyak ditayangkan. Salah satunya hairspray Corina. Tapi, lain Jakarta, lain pula Djokja waktu itu. Hanya para remaja dan gadis muda yang berani ikut-ikutan trend mode rambut. Para ibu belum punya keberanian untuk ikut trendy. Meskipun mungkin pengin banget.
Gaya rambut keriting inilah yang membuat para gadis berani memotong rambut di atas bahu karena gaya rambut keriting yang populer adalah rambut pendek. Tentu saja musti pendek, karena mengeriting rambut panjang pasti butuh biaya dan waktu lebih banyak. Terlebih, waktu itu tehnologi mengeriting rambut belum secanggih sekarang.
Gadis-gadis yang memilih berambut keriting termasuk berani melakukan perubahan radikal. Biasanya terbatas gadis-gadis yang berasal dari keluarga berada dan modern. Selain biaya mengeritingkan rambut lumayan mahal, sementara orang beranggapan gadis yang anggun adalah gadis yang berambut panjang tergerai atau dikepang. Gadis yang konvensional tentulah tidak berani beda dengan yang mainstream.
Selain model rambut krool atau keriting, berkembang model rambut Bob. Ada yang bilang, dikebob. Potongannya pendek dan kelaki-lakian. Tapi, anak-anak perempuan keluarga modern dan kaya banyak dipotong dengan style tersebut. Gaya rambut Bob dikenal dengan potongan London (baca: Londen). Salon London yang hingga kini masih ada di Jalan Bayangkara, Ngupasan, termasuk salon pertama yang memperkenalkan model rambut pendek atau bob itu. Setidaknya, bagi mereka yang tinggal di wilayah Yogya tengah dan selatan.
Sebelum tahun 1975, beauty salon masih sangat jarang dan tidak semua orang berani ”masuk.” Padahal, potong London lagi mode banget. Banyak anak minta dipotong model itu. Orang tua yang direngeki bingung. Akhirnya, nekad ambil tempurung kelapa, menelungkupkannya di kepala si anak, dan dengan semangat langsung beraksi memangkasi rambut-rambut yang tidak tertutup. Jadilah potong ”London” nan irit.
Tidak semua gadis kecil atau remaja mau di ”potong London.” Rambut panjang kepang dua dengan pita atau kucir air mancur di tengah untuk gadis kecil, tetap saja dibilang funky. Tapi anehnya, rambut pendek semakin menjadi-jadi. Sebenarnya rambut pendek memang impian lama para wanita kaya. Mereka pernah nonton film-film kolosal MGM sebelum tahun 60-an. Banyak yang mengidolakan Deborah Kerr, Grace Kelly, dan bintang-bintang film Barat yang waktu itu sering mereka lihat di bioskop. Bahkan, banyak yang mengoleksi foto-foto mereka. Pantas kan kalau lantas pengen meniru gaya rambut para bintang tenar itu? Tapi, impian itu pastilah cuma dipendam, terlebih ketika Bung Karno menyatakan perang melawan budaya Barat dan meneriakkan ”Go to hell, Yankee!”
Nah, ketika gaya rambut pendek booming, impian terpendam itu langsung dimanifestasikan di kepala putri-putri mereka. Itu untuk keluarga kaya. Trend rambut pendek semakin populer karena didukung oleh kalangan bawah. Tapi bukan karena mode. Banyak gadis kecil terpaksa digunduli atau dipotong cepak gara-gara kutu rambut. Biar tidak malu berkepala gundul, mereka dikerudungi taplak meja yang dibentuk topi. Lengkap dengan peniti di sana-sini.
Kutu rambut memang identik dengan kemiskinan. Gadis gundul tidak bisa merasa malu karena malu itu milik orang kaya. Si ibu tidak peduli anaknya suka atau tidak. Yang penting kutunya hilang. Waktu itu obat kutu rambut belum ditemukan. Menggundul rambut merupakan solusi yang murah meriah namun sebenarnya menyakitkan si anak. Anak sering diolok-olok teman-teman mereka ketika sekolah atau bermain. Sampai-sampai, waktu itu ada lagu yang biasa dinyanyikan anak-anak jika ada pesawat melintas,
Montor mabur njaluk korane, Bocah gundhul, akeh tumane.
(Pesawat, minta korannya. Anak gundul banyak kutunya.)
Obat kutu rambut, Peditox, benar-benar dewa penolong para gadis tempo doeloe. Bisa melenyapkan kutu dan kor-kornya dalam semalam. Juga, shampo Hi Top dan Tancho dalam sampul kertas pada awal tahun 70-an. Ketiganya benar-benar tuntas memberantas kutu yang dituduh membuat gadis-gadis jadi bodoh dan tidak sehat serta disingkiri teman-teman mereka. Ketiganya juga melenyapkan, meski perlahan, budaya ”didis” dan ”petan” di kalangan perempuan. Alias, nyari telur kutu dan kutu di rambut teman, sambil ngobrol dan bergossip-ria. Hakuna matata.
Rambut Pria
Gaya rambut pria atau cowok, lain lagi. Pernah mencermati bagian belakang iket atau topi tradisional Yogya? Ada bagian yang disebut ”mondholan” atau bulatan sebesar telur. Sebenarnya, mondholan itu imitasi gelung rambut. Dulu, para pria Djokja berambut panjang dan jika lagi beraktivitas, rambut tidak digerai tapi digelung. Jika mereka mengenakan iket atau topi, gelung itu diperlihatkan. Mungkin karena dirasa kurang praktis dan ingin tampil keren seperti Londo, banyak pria memberanikan diri berambut pendek. Agar jika mengenakan iket tetap tampak keren, iket praktis pun diciptakan dengan aksesori gelung imitasi berbentuk mondolan.
Potong cepak atau pronthos selanjutnya lebih populer diantara kaum pria dewasa. Bersamaan dengan trend itu, berrmuncullanlah tukang cukur atau barber dengan peralatan yang lumaya oke. Pisau cukur, hair spray, dan bahkan meja cukur serta kursinya semua imporan. Karenanya, tidak sembarang pria berani pergi ke tukang cukur. Solusinya potong di di tukang cukur ”pithingan,” di bawah pohon beringin seputar alun-alun atau di tepi jalan yang ada pohon rindangnya.
Selain potong pronthos, pada tahun 1964-an, ada gaya Beatle. Seperti namanya, gaya rambut ini menirukan gaya rambut para personil The Beatles. Karena berbarengan dengan revolusi kebudayaan dan pelarangan Wetern culture, gaya rambut Beatle cepat menguap bersama gaya sepatu Beatle, celana Beatle yang ciut di bawah, dan lain-lain yang berbau Amerika dan Barat. Pelarangan itu sangat keras. Mirip-mirip gaya Mao. Sering anak-anak muda dikejar-kejar polisi untuk kemudian pipa celananya disobeki dan rambutnya diperonthosi tanpa ba-bi-bu. Hak azasi? No way!
Hebatnya, pada tahun 1970-an hingga awal 80-an, justru berkembang trend rambut gondrong. Rambut gondrong identik dengan freedom karena gaya itu ditiru dari para personil band-band underground. ”Ngeground dong!” jadi gondrong... Para orang tua bengok-bengok, para guru alok, menentang gaya rambut itu. (lupa ‘kali kalau kakek-kakek mereka berambut panjang dan gelungan). Anak-anak SMA de Britto adalah satu-satunya anak sekolah yang bebas bergaya rambut ini.
”Wah, slebore anyar!” adalah ekspresi umum tempo doeloe untuk mereka yang baru saja potong rambut. Potong rambut kayak istimewa banget. Memang iya. Tahu nggak, orang tua Djokja tempo doeloe jarang membawa anak laki-laki mereka ke tukang cukur. Eman-eman uangnya. Si anak cukup disuruh duduk, kepalanya ditelungkupi tempurung kelapa, dan kres... kress... kress... beres. Keesokan harinya di sekolah dan arena bermain, dia bakal jadi bahan olok-olokan teman-teman, ”Ha... potong bathok!” Keesokan harinya lagi... dia bisa ganti ngeledekin temannya dengan ledekan yang sama. So, no big deal. Meski potong bathok, tetap aja “bagus” kok!
Selain gelung, banyak gaya rambut bermunculan di Djokja. Kira-kira sekitar tahun 68-an, bersamaan dengan masuknya TV, gaya rambutpun mengalami perkembangan pesat. Televisi tahun 1970-an menayangkan iklan-iklan asing yang menampilkan wanita-wanita cantik berambut gaya. Ada yang keriting, potong bob, agogo, dan lain-lain. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan lain-lain, rambut keriting sangat diminati dan menjadi trend. Iklan hairspray banyak ditayangkan. Salah satunya hairspray Corina. Tapi, lain Jakarta, lain pula Djokja waktu itu. Hanya para remaja dan gadis muda yang berani ikut-ikutan trend mode rambut. Para ibu belum punya keberanian untuk ikut trendy. Meskipun mungkin pengin banget.
Gaya rambut keriting inilah yang membuat para gadis berani memotong rambut di atas bahu karena gaya rambut keriting yang populer adalah rambut pendek. Tentu saja musti pendek, karena mengeriting rambut panjang pasti butuh biaya dan waktu lebih banyak. Terlebih, waktu itu tehnologi mengeriting rambut belum secanggih sekarang.
Gadis-gadis yang memilih berambut keriting termasuk berani melakukan perubahan radikal. Biasanya terbatas gadis-gadis yang berasal dari keluarga berada dan modern. Selain biaya mengeritingkan rambut lumayan mahal, sementara orang beranggapan gadis yang anggun adalah gadis yang berambut panjang tergerai atau dikepang. Gadis yang konvensional tentulah tidak berani beda dengan yang mainstream.
Selain model rambut krool atau keriting, berkembang model rambut Bob. Ada yang bilang, dikebob. Potongannya pendek dan kelaki-lakian. Tapi, anak-anak perempuan keluarga modern dan kaya banyak dipotong dengan style tersebut. Gaya rambut Bob dikenal dengan potongan London (baca: Londen). Salon London yang hingga kini masih ada di Jalan Bayangkara, Ngupasan, termasuk salon pertama yang memperkenalkan model rambut pendek atau bob itu. Setidaknya, bagi mereka yang tinggal di wilayah Yogya tengah dan selatan.
Sebelum tahun 1975, beauty salon masih sangat jarang dan tidak semua orang berani ”masuk.” Padahal, potong London lagi mode banget. Banyak anak minta dipotong model itu. Orang tua yang direngeki bingung. Akhirnya, nekad ambil tempurung kelapa, menelungkupkannya di kepala si anak, dan dengan semangat langsung beraksi memangkasi rambut-rambut yang tidak tertutup. Jadilah potong ”London” nan irit.
Tidak semua gadis kecil atau remaja mau di ”potong London.” Rambut panjang kepang dua dengan pita atau kucir air mancur di tengah untuk gadis kecil, tetap saja dibilang funky. Tapi anehnya, rambut pendek semakin menjadi-jadi. Sebenarnya rambut pendek memang impian lama para wanita kaya. Mereka pernah nonton film-film kolosal MGM sebelum tahun 60-an. Banyak yang mengidolakan Deborah Kerr, Grace Kelly, dan bintang-bintang film Barat yang waktu itu sering mereka lihat di bioskop. Bahkan, banyak yang mengoleksi foto-foto mereka. Pantas kan kalau lantas pengen meniru gaya rambut para bintang tenar itu? Tapi, impian itu pastilah cuma dipendam, terlebih ketika Bung Karno menyatakan perang melawan budaya Barat dan meneriakkan ”Go to hell, Yankee!”
Nah, ketika gaya rambut pendek booming, impian terpendam itu langsung dimanifestasikan di kepala putri-putri mereka. Itu untuk keluarga kaya. Trend rambut pendek semakin populer karena didukung oleh kalangan bawah. Tapi bukan karena mode. Banyak gadis kecil terpaksa digunduli atau dipotong cepak gara-gara kutu rambut. Biar tidak malu berkepala gundul, mereka dikerudungi taplak meja yang dibentuk topi. Lengkap dengan peniti di sana-sini.
Kutu rambut memang identik dengan kemiskinan. Gadis gundul tidak bisa merasa malu karena malu itu milik orang kaya. Si ibu tidak peduli anaknya suka atau tidak. Yang penting kutunya hilang. Waktu itu obat kutu rambut belum ditemukan. Menggundul rambut merupakan solusi yang murah meriah namun sebenarnya menyakitkan si anak. Anak sering diolok-olok teman-teman mereka ketika sekolah atau bermain. Sampai-sampai, waktu itu ada lagu yang biasa dinyanyikan anak-anak jika ada pesawat melintas,
Montor mabur njaluk korane, Bocah gundhul, akeh tumane.
(Pesawat, minta korannya. Anak gundul banyak kutunya.)
Obat kutu rambut, Peditox, benar-benar dewa penolong para gadis tempo doeloe. Bisa melenyapkan kutu dan kor-kornya dalam semalam. Juga, shampo Hi Top dan Tancho dalam sampul kertas pada awal tahun 70-an. Ketiganya benar-benar tuntas memberantas kutu yang dituduh membuat gadis-gadis jadi bodoh dan tidak sehat serta disingkiri teman-teman mereka. Ketiganya juga melenyapkan, meski perlahan, budaya ”didis” dan ”petan” di kalangan perempuan. Alias, nyari telur kutu dan kutu di rambut teman, sambil ngobrol dan bergossip-ria. Hakuna matata.
Rambut Pria
Gaya rambut pria atau cowok, lain lagi. Pernah mencermati bagian belakang iket atau topi tradisional Yogya? Ada bagian yang disebut ”mondholan” atau bulatan sebesar telur. Sebenarnya, mondholan itu imitasi gelung rambut. Dulu, para pria Djokja berambut panjang dan jika lagi beraktivitas, rambut tidak digerai tapi digelung. Jika mereka mengenakan iket atau topi, gelung itu diperlihatkan. Mungkin karena dirasa kurang praktis dan ingin tampil keren seperti Londo, banyak pria memberanikan diri berambut pendek. Agar jika mengenakan iket tetap tampak keren, iket praktis pun diciptakan dengan aksesori gelung imitasi berbentuk mondolan.
Potong cepak atau pronthos selanjutnya lebih populer diantara kaum pria dewasa. Bersamaan dengan trend itu, berrmuncullanlah tukang cukur atau barber dengan peralatan yang lumaya oke. Pisau cukur, hair spray, dan bahkan meja cukur serta kursinya semua imporan. Karenanya, tidak sembarang pria berani pergi ke tukang cukur. Solusinya potong di di tukang cukur ”pithingan,” di bawah pohon beringin seputar alun-alun atau di tepi jalan yang ada pohon rindangnya.
Selain potong pronthos, pada tahun 1964-an, ada gaya Beatle. Seperti namanya, gaya rambut ini menirukan gaya rambut para personil The Beatles. Karena berbarengan dengan revolusi kebudayaan dan pelarangan Wetern culture, gaya rambut Beatle cepat menguap bersama gaya sepatu Beatle, celana Beatle yang ciut di bawah, dan lain-lain yang berbau Amerika dan Barat. Pelarangan itu sangat keras. Mirip-mirip gaya Mao. Sering anak-anak muda dikejar-kejar polisi untuk kemudian pipa celananya disobeki dan rambutnya diperonthosi tanpa ba-bi-bu. Hak azasi? No way!
Hebatnya, pada tahun 1970-an hingga awal 80-an, justru berkembang trend rambut gondrong. Rambut gondrong identik dengan freedom karena gaya itu ditiru dari para personil band-band underground. ”Ngeground dong!” jadi gondrong... Para orang tua bengok-bengok, para guru alok, menentang gaya rambut itu. (lupa ‘kali kalau kakek-kakek mereka berambut panjang dan gelungan). Anak-anak SMA de Britto adalah satu-satunya anak sekolah yang bebas bergaya rambut ini.
”Wah, slebore anyar!” adalah ekspresi umum tempo doeloe untuk mereka yang baru saja potong rambut. Potong rambut kayak istimewa banget. Memang iya. Tahu nggak, orang tua Djokja tempo doeloe jarang membawa anak laki-laki mereka ke tukang cukur. Eman-eman uangnya. Si anak cukup disuruh duduk, kepalanya ditelungkupi tempurung kelapa, dan kres... kress... kress... beres. Keesokan harinya di sekolah dan arena bermain, dia bakal jadi bahan olok-olokan teman-teman, ”Ha... potong bathok!” Keesokan harinya lagi... dia bisa ganti ngeledekin temannya dengan ledekan yang sama. So, no big deal. Meski potong bathok, tetap aja “bagus” kok!
0 komentar:
Post a Comment