Terror tidak harus berkaitan dengan para teroris yang diduga bakal meledakkan bom. Sesuatu yang mencekam dan membuat trauma dan ketakutan yang berkepanjangan, bisa saja disebut teror. Begitu pula usaha menakut-nakuti seseorang. Ini sih, definisi pribadi, bukan definisi ilmiah dari kacamata psikologi atau semacamnya.
Teror tidak pula musti berasal dari para separatis atau mereka yang punya misi jihad. Teror bahkan bisa ditebarkan oleh orang tua sendiri. Hi, ngeri. Mana ada teror seperti itu? Ada. Terlebih, tempo doeloe. Tepatnya, sebelum tahun delapanpuluhan, ketika ortu belum begitu well-informed tentang perkembangan jiwa anak. Teror by ortu tentu saja bukan teror yang deadly, mematikan. And toh, tetap berbahaya karena bisa saja mematikan keberanian anak atau setidaknya menghambat anak tumbuh menjadi pribadi yang mentally sehat atau normal.
Teror kecil-kecilan yang dilakukan ortu jaman dulu beragam. Alasannya pun beda-beda. Ada yang sengaja untuk menakut-nakuti agar anak patuh dan tidak nakal, ada yang sekedar ledekan untuk menggoda si kecil. Contohnya, teror tentang ayah. Para ayah yang kebetulan priyayi atau terhormat di masyarakat seringkali jadi figur yang menakutkan anak-anak, bahkan anak-anak mereka sendiri. Ibulah yang justru sering menteror anak dengan mengatakan, ”Awas.. bapak pulang.” Atau, ketika cari jalan pintas menangani anak yang ngrepoti aktivitas mereka, para ibu sering mengancam, ”Lihat nanti kalau bapak datang, tak bilangin.” Para ibu Yogya sering berkata, ”Mengko tak aturke bapak!”
Bapak. Begitu dengar sebutan itu, anak langsung merasa ngeri. Di benak mereka, bapak adalah sosok yang bakal memarahi, yang galak, yang serem. Banyak anak tidak berani duduk berhadapan dengan ayah mereka. Kalau sampai dipanggil ayah, artinya akan didukani, dimarahi. Diadili berdasar laporan ibu. Boro-boro ngobrol. Begitu ayahnya datang, anak akan langsung menghilang dari peredaran, main bersama anak-anak lain. Pada jaman itu, seorang ayah sering dianggap momok oleh anaknya sendiri.
Teror kecil-kecilan yang acap kali diucapkan seorang ibu sering membuat anak tercekam dan sangat ketakutan bahkan pada ayahnya sendiri. Meskipun fakta menunjukkan si ayah baik dan sayang padanya, anak tetap merasa itu suatu bonus, bukan sikap yang sebenarnya. Begitulah para ibu tempo doeloe, seringkali membiaskan ketakutan dan rasa inferiornya sendiri pada suami.
Teror kecil-kecilan dalam aneka bentuk sering digunakan untuk menakut-nakuti anak-anak agar mereka patuh, tidak rewel, tidak nakal, dan duduk manis tidak ngrepoti. Atau, sekedar untuk menggoda atau ngledekin anak. Ortu sering tidak sadar, yang dilakukannya berefek teror pada anak. Apalagi jika anak itu masih berusia di bawah empat tahun dan kelewat imajinatif.
Sampai sekarang, saya benci pada kambing. Padahal, belum pernah diapa-apakan kambing. Hanya saja, saya selalu merasa tidak happy tiap kali ibu saya mengatakan bahwa saya sebenarnya bukan anaknya melainkan anak wedhus (kambing) Pak Joyo, tetangga kami. Pak Joyo sering menggembalakan kambingnya ke alun-alun yang waktu itu banyak ditumbuhi rumput. Kambing Pak Joyo kumal-kumal, pantatnya ngetepol, dan suaranya”Mbeek... mbek...” Jelek sekali menurut telinga anak kecil. Tiap kali dengar kambing-kambing itu lewat depan rumah, saya selalu sembunyi di kamar mandi atau di bawah dipan. Apalagi kalau mereka berjubelan karena berebut menerobos pagar teh-tehan depan rumah dan memakan tanaman-tanaman yang ada. Biasanya ibu akan berteriak, ”Tuh kamu dijemput... mau diajak pulang... .” Saya ketakutan sekali karena ibu juga pernah berkata bahwa salah satu kambing yang gemuk itu adalah ibu saya yang sebenarnya.
”Lha kok aku di sini?” tanya saya tidak percaya.
“Ibu kasihan aja, maka tak bawa ke sini, tak jadikan anakku. Tuh dia lihat kamu terus...” Sejak itu tiap ada kambing lewat atau lihat kambing, saya selalu ketakutan. Lama-lama jadi takut pada kambing beneran. Bahkan sampai sekarang, nggak suka sama kambing. Kecuali kalau sudah jadi gule.
Gurupun juga sering menteror. Sebutan guru killer populer sekitar tahun delapanpuluhan. Guru killer, guru yang galak dan suka ”ngecing.” Tapi sebelum era itu, banyak guru jauh lebih menyeramkan. Senjata mereka bukan cuma ancamannya tapi juga penghapus, penggaris besar, kapur. KDK... Kekerasan Dalam Kelas tidak jarang terjadi. Alias sering. Bukan bullying oleh teman tapi oleh guru. Kalau ada anak ngobrol atau menga-mengo sedikit saja, langsung dilempar penghapus kepalanya. Atau, guru akan mendekat dan siap menjewer kuping siswa. Perlakuan tidak adil dan pilih kasih kerap dijumpai. Anak-anak dari keluarga yang sangat miskin, anak PRT, dan anak-anak yang memang bandel sering diperlakukan dengan ”istimewa” buruknya oleh guru. Digebuk pakai penggaris besar ketika gagal mengerjakan soal di depan kelas, bukan hal aneh.
Doeloe, teror-teror seperti itu banyak sekali dan ortu tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau anak pulang sekolah menceritakan perlakuan guru, dia justru akan dimarahi orang tuanya karena dianggap dia sendirilah yang bersalah. Akibatnya, banyak anak cabut dari sekolah dan drop out. Lain banget dengan sekarang, guru tidak berani main kayu pada anak. Ortu bisa menuntut.
Ada saudara saya yang seumur hidup tidak berani menemui tamu dan selalu takut pada orang lain karena trauma digebuk guru dan dikata-katai. Dia jadi super inferior dan menarik diri dari pergaulan karena menganggap semua orang jahat. Ketika diperlakukan tidak manusiawi oleh gurunya, dia tengah peka-pekanya karena baru saja ditinggal ibunya menghadap Tuhan. Guru itu tentu saja tidak pernah tahu akibat dari perlakukannya itu.
Ada lagi teror lain yang juga umum di masyarakat. Teror tentang hantu. Agar anak-anak tidak keluyuran di malam hari, begitu Maghrib menjelang, orang tua segera memanggil anak-anak masuk rumah. ”Pulang, nanti ada Candik Ala.” Tanpa penjelasan itu makhluk apa dan seperti apa, ortu begitu saja menakut-nakuti anak-anak Bahkan, sering dengan ancaman yang seram, ”Pulang, sudah malam, nanti digondol Wewe Gombel lho...” Atau, ”Ayo makan, lihat tuh kalau nggak mau... ada putih-putih di sana...”
Bayangkan saja. Dimasa listrik belum ada dan lingkungan masih rungkut pepohonan dan semak, teror ortu seperti itu membuat anak-anak benar-benar ketakutan. Akibatnya, anak jadi penakut. Ke kamar mandi saja minta diantar. Sudah gitu, karena malas ngantar, orang tua jadi marah-marah karena anaknya penakut berat. Lupa kalau mereka sendirilah yang membentuk jadi seperti itu.
Cara untuk mencegah anak-anak main terlalu jauh dari rumah yang sangat populer pada tahun tujuhpuluhan adalah isu penculik. Montor abang atau mobil merah atau truk bertutup terpal dengan ”cap gunting-gunting peso” benar-benar efektif untuk menakut-nakuti anak-anak agar tidak main jauh dari rumah. Cerita yang ditebarkan, keduanya adalah ”Duyung,” penculik anak-anak kecil. Anak-anak akan ditangkapi dan dimasukkan ke mobil merah atau truk bergambar ”Cap gunting- gunting peso.” Kalau sudah tertangkap, anak-anak akan dijadikan tumbal pesugihan. Kedua matanya akan dicungkil, dibuat cendol dawet untuk disajikan di perempatan jalan raya atau jembatan. Anak-anak kecil takut setengah mati pada yang namanya ’duyung’ itu.
Suatu hari, saya dan teman-teman bermain di alun-alun selatan. Waktu itu di tengah alun-alun ada taman lalu lintas, arena bermain anak-anak. Pada sore hari atau hari libur, arena itu dibuka untuk umum. Anak-anak bisa naik sepeda roda tiga atau roda dua yang kecil. Ibu-ibu juga membawa anak-anak mereka yang sedang belajar berjalan ke situ.Tapi karena terbengkelai, taman lalu lintas jadi tidak terawat dan tampak seram. Kalau malam untuk tidur gelandangan. Karenanya, anak-anak tidak boleh main ke situ lagi.
Suatu siang, saya dan teman-teman memanjat pohon untuk memetiki buah Pedang-pedangan karena mau pentas ketoprak-ketoprakan. Tiba-tiba ada mobil merah muncul dari arah barat. Kontan kami bergegas turun. Saking paniknya, kami begitu saja melorot hingga dada kami terbarut-barut batang pohon. Merasa paling besar di antara teman-teman, cepat-cepat saya menyuruh Ika, Darbo, Umi, Putik, Yanto, masuk ke bawah jembatan kecil di arena itu. ”Montor duyung... Montor duyung!” Hampir satu jam kami sembunyi di parit dan menginjak kecebong, berudu katak, dan air kotor di parit itu. Gara-gara takut diculik mobil merah yang berputar-putar mengitari alun-alun mencari anak-anak kecil....
Montor duyung itu akhirnya pergi dan kami pulang dengan ketakutan. Tentu saja kami tidak berani menceritakan kejadian itu pada ortu karena tahu cuma bakal dimarahi karena main jauh dari rumah.
(Setelah kelas tiga SD kami baru tahu mobil merah itu mobil VW kodok milik sebuah kursusan setir mobil)
Teror yang juga sering dilontarkan pada anak-anak adalah kalau nelan biji buah-buahan. Pernah saya tanpa sengaja menelan biji buah Duwet. Kakak sepupu saya langsung menakut-nakuti, ”Dua hari lagi bakal tumbuh di kepalamu... lihat aja sendiri!”
”Iya po?” Kakak tampak serius mengiyakan. Dia tidak pernah tahu bagaimana semalaman saya tidak bisa tidur gara-gara tiap kali meraba-raba kepala. Ketika siangnya buang air besar, segera ”si itu” saya korek-korek pakai lidi bambu. Syukurlah, biji itu ada di situ...
Itu sih kebetulan saja. Bayangkan kalau ternyata sudah hancur tercerna, apa saya tidak akan ketakutan berhari-hari karena was-was si biji benar-benar thukul?
Maunya bercanda atau menggoda, orang tua atau orang dewasa sering tanpa sadar menteror anak-anak.
Yah, maklumlah. Jaman doeloe kan belum ada majalah seperti Ayah Bunda atau tabloid Nakita, atau buku-buku perkembangan kepribadian seperti sekarang.
0 komentar:
Post a Comment