Ini mah bukan strategi berburu yang dilakukan para sultan Djogdja tempo doeloe. Tapi, sistem berburu buah-buahan yang dilakukan anak-anak orang jelata, manakala di rumah minus pengisi perut. Kalau para sultan dan bangsawan biasa berburu atau istilahnya ”membedak” di wilayah-wilayah kukuban mereka, misalnya di hutan-hutan yang cukup jauh dari kraton, anak-anak rakyat jelata justru sebaliknya. Mereka biasa ”berburu” di wilayah sekitar kraton.
Pernah lihat bangunan ini? Sebuah gardu pandang yang terletak di selatan kraton Yogya, kira-kira satu kilometer dari Plengkung Gading atau alun-alun selatan. Gardu ini konon untuk melihat-lihat gerak-gerik kijang atau buruan lain yang berseliweran di seantero hutan kecil yang menjadi tempat favorit berburu para sultan.
Gardu ini dilengkapi beberapa ruang bawah yang dipergunakan sebagai tempat beristirahat ketika rombongan tiba atau manakala sultan dan rombongan sudah kelelahan berburu. Gardu pandang ini direnovasi dan menjadi salah satu landmark kota Yogya. Letak tepatnya di sebelah selatan Pondok Pesantren Krapyak.
Untuk mencapai tempat itu, sultan musti keluar kraton dan berkereta atau berkuda. Bagaimana pula cara anak-anak berburu buah-buahan di wilayah kraton yang serba terbatasi itu?
Sebelum tahun tujuhpuluhan, wilayah sekitar kraton penuh dengan pohon buah-buahan. Di halaman belakang kraton ada lapangan Kemagangan dan Kemandungan. Area Kemandungan itu ditanami banyak pohon buah-buahan: mangga Sengir dan Manalagi, jambu Dersana, Kepel, Pakel, dan lain-lain. Karena pohon-pohon itu milik kraton, atau istilahnya ”kagungan Dalem,” tentu saja kualitas buahnya serba prima.
Anak-anak sering bermain di area itu. Tapi, meskipun tiap saat melihat buah-buahan matang bergelantungan di pepohonan, mereka tidak berani memetik begitu saja. Karena ”kagungan Dalem” sangat dijunjung tinggi dan orang memang tidak mau sembarangan nekad menyeroboti milik kraton.
Waktu itu aku masih SD dan berpikir-pikir, kalau tidak dipetiki dan akhirnya cuma berjatuhan, lantas apa manfaat buah-buah itu? Sementara, anak-anak pada kekurangan gizi karena kurang makan. Terbersit melakukan sesuatu untuk mendapatkannya. Kamipun berpikir gimana musti memperoleh buah-buahan itu tanpa mencurinya.
Segera kami pulang untuk pinjam tembor (nampan) Mbokde Tirtowerdoyo ( kakak ayah) yang memiliki nampan porselen berpagar perak. Kami juga meminjam kerudung makanan putih berenda dan penuh sulaman bunga-bunga indah milik Budhe. Bermodal dua benda itu, kami berjalan memutar dan sampai ke regol Kemandungan bagian utara.
Sambil berjalan mengendap-endap dan sangat santun, kamipun muncul dari arah kraton dan mendatangi para Abdi Dalem yang duduk-duduk di samping gerbang. Begitu para penjaga itu melihat kami dan nampan yang kami bawa, kontan mereka segera tergopoh-gopoh menghampiri kami seraya merunduk penuh hormat.
”Kak ken nyuwun pelem,” (Disuruh minta mangga) kataku dengan bahasa Jawa sangat halus.
”Sendika,” jawab salah satu dari mereka. Maksudnya, ”Siap melayani kehendak Paduka...” Kamipun disuruh duduk manis dan menunggu. Tidak lama kemudian, enam mangga matang pun ditata dengan penuh khidmat di nampan dan ditutupi kerudung makanan berenda itu. Sambil menyembah (tanda hormat), Abdi Dalem itu mengulurkan nampan itu pada kami. Di dekatnya ada dua mangga yang tidak diikutkan. Sambil menunjuk ke dua mangga itu dia berkata, ”Pun aturken, ingkang menika kula suwun...” (Tolong sampaikan, yang ini kami minta)
Kamipun mengangguk dan berbalik memasuki regol Kemandungan dan berjalan ke utara menuju kraton. Tentu saja kami tidak menuju gerbang kraton sebagaimana mungkin mereka bayangkan, tapi langsung berbelok ke kiri... pulang.
Enam mangga itu kami nikmati berlima belas. Duh... lezatnya, sungguh tak terlupakan.
Selain di halaman Kemandungan, area berburu lainnya justru di dalam halaman kraton. Terutama, di bagian barat atau Kraton Kulon. Tapi, tidak semua anak bisa masuk ke sana tanpa akses khusus. Untuk mendapatkan akses khusus masuk ke sana, kami merayu Bude yang pernah menjadi Carik (Sekretaris) di keputren kraton untuk marak (mengunjungi) para istri Sultan Hamengku Buwono IX. Bude sangat senang karena sebenarnya beliau punya kerinduan dan nostalgia tersendiri dengan kraton. Lagi pula, para istri Sultan juga sangat ramah dan senang dikunjungi.
Biasanya, kami akan diajak ”marak” terlebih dulu, ”kulo nuwun” serta mengunjukkan hormat- bakti sambil berbincang-bincang sejenak. Para garwa Dalem sangat ramah pada anak-anak juga. Kamipun lantas diberi keleluasaan bermain, asalkan tidak ”begajigan” atau urakan. Sementara, Bude melanjutkan cengkerama.
Kesempatan itulah yang kami tunggu-tunggu. Tanpa babibu, kamipun langsung menuju ke halaman bagian belakang yang penuh pohon buah-buahan. Bisa ditebak... selanjutnya kami pun dengan gembira memunguti buah-buah yang jatuh. Jambu, mangga, sawo, belimbing bintang, dan lain-lain.
Enak, praktis, bisa langsung dikonsumsi, dan available di mana-mana, buah-buahan jadi alternatif dan incaran penganjal perut kosong. Pengalaman berburu buah-buahan begitu heroik, meski di sana-sini penuh dengan kriminalitas ala anak-anak.
Waktu itu musim duku. Duku termasuk buah yang elit dan tak terjangkau bagiku. Karenanya, membayangkan seperti apa manisnya buah duku sangat sulit. Aku cuma sering melihat bagaimana tetanggaku yang pada waktu itu tergolong kaya, asyik ngemil duku.
Siang itu duku-duku kuning tampak bertimbun di tambir (nampan bambu) di atas tenggok beberapa penjual pasar Ngasem, pasar tradisional yang terletak di barat Kraton Yogya dan saat ini populer sebagai pasar burung. Kebetulan aku diajak kakak sepupu belanja bahan kue Putri Ambon di warung Bu Jariyah. Karena antri banyak, untuk mengalihkan kebosanan iseng-iseng kugoda lebah-lebah madu yang merubung tumpukan gula Jawa. Seketika, terbersit ide mendapatkan duku-duku manis dengan gratis.
Segera aku pamit pada kakak sepupuku. ”Ya, tapi jangan ninggal pulang lho,” pesannya. Dia selalu minta kutemani kemanapun pergi karena menurut dia, pergi sendirian kayak aneh, tidak pantas baik seorang gadis priyayi. Akupun janji akan kembali ke warung itu lagi.
Penjual nangka jadi tujuan utamaku. Di sana, diantara kerumunan pembeli gori, kudulit getah nangka muda dengan lidi sapu yang kudapat dari penjual sapu dan keset di dekatnya. Segera aku kembali ke warung Bu Jar dan menemui kakakku.
”Ada apa, kok senyum-senyum?” tanyanya curiga.
Segera kutempelkan lidi bergetah nangka ke seekor tawon gula. Dapat!
”Buat apa, he... kasihan, jangan nyiksa binatang,” bisik Mbak Asih.
”Bentar kok,” jawabku lirih.
Begitu dia selesai membeli gandum dan bubuk coklat cap Merak, segera kuajak dia keliling pasar.
”Ngapain, capaek-capaek...,” katanya.
”Ssst... nyari anjing yang tadi...”
”Ah, anjing budukan... Lha itu dia, mau kamu apakan sih? Jangan neko-neko!” Kakakku, yang hafal dengan ulah-ulahku selama ini, mengingatkan dengan was-was.
”Yuk kita giring anjing itu ke sana...,” ajakku. Kamipun mendecak-decakkan lidah sambil mengajak anjing itu mengikuti kami. Begitu dekat dengan penjual duku, akupun beralih ke belakang si anjing. Dengan sigap kutempelkan tawon gula ke dubur anjing itu. Kontan anjing itu melonjak disengat si lebah madu. Saking kaget dan mungkin sakit oleh sengatan itu, dia berlari nubras-nubras dan menabrak tenggok penjual duku. Isi tambirpun numplak tanpa bisa dicegah. Bergelindinganlah duku-duku kuning ke segala arah.
Cepat-cepat kami punguti duku-duku itu sebelum diinjak-injak orang. Lalu, kami letakkan kembali ke tambir si penjual..
”Anjing kurang ajar...” teriak penjual itu. ”Makasih ya, Nok...”
Kamipun beranjak dari tempat itu, pelan-pelan dan penuh harap.
”Eh... sini dulu, Nok... Ini, sedikit buat kalian...” Penjual duku itu tiba-tiba sudah berada di belakang kami.
”Ah, nggak usahlah... ”
”Eh, nggak papa ... Nih...makasih...” desaknya seraya membuka telapak tanganku dan menggenggamkan seconthong daun jati berisi duku.
”Makasih,” kataku pura-pura ragu-ragu.
Kamipun berjalan menyusuri gang-gang kampung.”Duku... duku...manis tenan,” kataku sambil menelan duku pertama dalam hidupku.
”Kapok aku ngajak kamu ke pasar... ” kata kakakku yang rupa-rupanya sama sekali tidak mau menyentuh duku di tanganku.. ”Eh, minta ya...,” sambungnya tiba-tiba sambil tertawa geli dan memungut satu butir..
Beda banget dengan kokosan yang bikin orang mengerdipkan sebelah mata...
Bariyah, teman main yang sepantaran denganku, suatu siang menghampiriku diwarung Yu Rejo. Wajahnya pucat kebiruan. Dia tersenyum dan berkata, ”Mau cari mangga nggak? Aku pengen ikut...” katanya seperti memohon. Kutatap matanya yang redup. Timbul rasa iba di hatiku. Bariyah sering ditinggalkan teman-teman karena dia tidak bisa lari cepat. Dia tidak pernah diajak main dan selalu cuma duduk-duduk di pinggir arena permainan.
” Di Sasono Hinggiel banyak...” tambahnya.
”Kok tahu, Bar?”
“Aku udah lihat... Ya? Aku diajak,” katanya nyaris berbisik.
Kamipun segera mengambil genter (tongkat panjang) dan menuju Sasono Hinggiel, bagian belakang Kraton yang sering digunakan untuk pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Betul juga, di halaman belakang gedung itu ada satu pohon mangga yang buahnya sangat lebat. Tapi, ternyata genter kami tidak mungkin menjangkau buah-buah itu.
”Gimana manjatnya, pohonnnya sebesar ini? ” kakak sepupuku yang juga ikut, jadi ragu.
”Bentar, aku minta ijin Mbok Bon dulu...” Akupun segera ke rumah penunggu Sasono Hinggiel. Sambil tertawa, Mbok Bon itu memberi ijin.
”Ambil sesuka kalian kalau bisa...” serunya.
Akupun segera melapor pada teman-teman. ”Boleh... boleh...” Mata Bariyah berbinar-binar. Masalahnya, bagaimana bisa melewati pokok pohon yang besarnya dua rangkulan tanganku dan mencapai cabang pertama. Selanjutnya, bakal mudah melembar ke cabang-cabang lainnya.
”Eh... pakai pelepah pisang itu aja!” seruku gembira melihat sebuah solusi. Tidak lama kemudian aku sudah nagkring di atas dua pelepah pisang yang kami sandarkan di batang pohon.
”Ini bekas untuk mandiin orang mati...” kata kakakku ketakutan.
”Ah, nggak papa. Sundul aja pantatku pakai kepala kalian...”
”Bisa...” seruku sambil berdiri di cabang yang kuinginkan.
Mbak Asih dan Bariyahpun dengan penuh semangat memunguti mangga-mangga yang kujatuhkan.
Dua hari kemudian...
”Bariyah meninggal, barusan...” teriak Umi ketika kami berhamburan keluar rumah karena mendengar suara kentong tanda kematian. Tubuhku gemetar. Akupun lari ke rumahnya. Harapanku, Bariyah belum dikafani. Aku ingin melihatnya untuk terakhir kali.
Sesampai di rumah Bariyah, sebuah pondok bambu kecil yang mepet tembok Kemagangan, kulihat tubuh kaku dan biru temanku itu dibaringkan di dipan. ”Bar...” teriakku menahan tangis. Ayahnya, Pak Joyo, tampak tersedu-sedu. Dia menoleh padaku.
”Sebelum meninggal... Bariyah... Bariyah... senyum, ” bisik Pak Joyo terbata-bata.”Dia ... dia senang... diajak... cari mangga... Terimakasih, Den. ” Kugenggam tangan Bariyah yang kaku dan biru. ”Kita dapat banyak ya, Bar?!” bisikku sambil tersenyum.
0 komentar:
Post a Comment