Dagadu, brand kaos yang telah menghidupi Yogya. Pemiliknya yang generous, benar-benar pahlawan perekonomian yang ikut mengentaskan puluhan ribu warga Yogya karena merelakan brand T-Shirt-nya itu untuk publik. Banyak orang Yogya ikut ”makan” lewat kaos-kaos yang mereka produksi atau jual dengan merk DAGADU.
Kalau anda datang ke Yogya dan ke Malioboro dan pasar Beringharjo, tidak mungkin tidak bertemu kaos Dagadu. Bahkan, mungkin anda dititipi teman-teman untuk membawa oleh-oleh kaos itu. Lalu, anda akan diantar para tukang becak ke wilayah Ngasem, ke sentra Dagadu. Meski, anda yang benar-benar memikirkan kualitas, akan tahu bahwa the original Dagadu ada di Malioboro Mall dan di rumah Dagadu sendiri, di Jl. Poncowinatan.
”Dagadu” itu bahasa mana, dan artinya apa sih? Mungkin anda pernah tergelitik untuk mengetahui. ”Dagadu” itu bahasa anak muda Yogya tahun tujuh lima hingga delapanpuluhan. Sebuah umpatan yang artinya ”matamu.” Bahasa Jawa versi Dagadu itu diciptakan oleh seseorang, entah siapa dia, dari mengutak-utik tulisan Jawa. Akhirnya bahasa itu populer di kalangan mahasiswa dan anak-anak SMA.
Dulu kami sekelas, II IPS 2 di SMA I (tahun 1979), menggunakan bahasa gaul ini. Sekelas menggunakannya, terutama kalau pas ulangan.
”Hire, pinyi?”
”Poya lesgi.”
”Panyu poya piba...”
”Piye, iki?” (Gimana nih?)
” Ora ngerti.” (Nggak tahu.)
”Aku ora isa...” (Aku nggak bisa.)
Bahkan, anak muda waktu itu bisa menggunakannya dengan lancar untuk pembicaraan sehari-hari antar teman. Biasanya yang sering menggunakan bahasa seperti itu anak-anak laki-laki. Anak-anak perempuan hanya segelintir yang bisa. Karena, kesannya agak nyerempet preman, gitu. Tapi, di kelas kami, nggak hanya anak laki-laki yang bisa. Nyaris semua sering menggunakan bahasa ciptaan sendiri itu.
Rumusnya sebenarnya mudah. Hanya mengurutkan bunyi abjad Jawa dan memakai bunyi yang ada di atas atau di bawah bunyi yang kita inginkan.
a. ha na ca ra ka
b. da ta sa wa la
c. pa dha ja ya nya
d. ma ga ba tha nga
Tiap kali mengucapkan kata yang ada unsur bunyi dari kelompok a, misalnya ka, maka yang diucapkan bukan ka itu sendiri tapi bunyi di bawahnya (dari kelompok b), yaitu na. Maka kalau mau bilang “karo sapa” (dengan siapa), yang diucapkan ”nawo cama”:
ka jadi na
ro jadi wo
sa jadi ca
pa jadi ma
Karena sering menggunakan, lama-lama jadi faseh beneran. Mereka yang berasal dari jaman itu hingga kini masih sering menggunakan, khususnya untuk membicarakan hal-hal pribadi atau buat sekedar bernostalgia. Kepiawiaian menggunakan bahasa gaul model Dagadu ini ternyata juga merupakan ketrampilan berbahasa tersendiri. Mereka yang ”tell me more” alias telat mikir alias ”lola,” bakal sulit atau kepontal-pontal menggunakannya.
Sebelum era tujuhpuluh-delapanpuluhan, ada model lain penggunaan bahasa serupa. Rumusnya kurang tahu, kayaknya lebih rumit. Ketika saya belum sekolah, saya sering dengar kakak-kakak sepupu berbicara menggunakan bahasa gaul itu. Seingat saya, kalau memanggil ”Mas” bukan ”mas” tapi ”kas.” Gimana menyusunnya, kurang tahu. Mungkin ada pembaca yang tahu versi ini atau berasal dari generasi ini bisa memberi info.
Rayahan alias berebut sesuatu yang dilempar atau dijatuhkan benar-benar khas tempo doeloe. Tidak mengherankan, hingga sekarang action yang namanya ”ngrayah,” dan kemudian berkembang menjadi menjarah, sulit diatasi. Karena saking telanjur mendarah daging.
Bagaimana tidak mendarah daging, menjadi kebiasaan, ciri wanci. Banyak sekali pendidikan rayahan dikenyam oleh masyarakat Jawa. Yang saya ketahui, di Yogya. Misalnya, ritual nyebar udik-udik yang dilakukan oleh Sultan sebagai simbol sedekah kepada rakyat jelata. Karena keping-keping uang itu dilemparkan ke hadapan mereka, otomatis para kawula mengambilinya dengan merayah. Demi ”ngalap berkah” mereka rela berdesak-desakan dan adu kepala dengan sesama perayah.
Intensitas rayahan semakin meningkat karena selain nyebar udik-udik, ada hajad Dalem lain yang juga memberi kesempatan rakyat jelata rayahan. Yaitu ketika ada Garebeg. Padahal, dalam satu tahun ada beberapa Garebeg. Pada tiap garebeg, Sultan selalu membuat Gunungan yang berisi hasil bumi atau makanan. Dari nasi, ketan, sayur-mayur, lauk-pauk (kerupuk) yang dibentuk sebagai gunungan. Gunungan barangkali merupakan simbol rasa syukur atas kemakmuran yang dianugerahkan Tuhan dan niat berbagai rejeki pada rakyat. Begitu sampai di Masjid Gede, gunungan akan ditumplak dan rakyat diberi kesempatan merayahnya. Rayahan pun terjadilah. Seringkali ada yang sampai pingsan dalam rayahan itu.
Di suatu Garebeg tahun 1971, ketika kelas empat SD, saya ikut merayah gunungan. Karena tubuh saya kecil, dengan mudah bisa menelusup diantara orang-orang yang berdesakan dan bertumpukan di atas gunungan yang ditumplak di halaman belakang Masjid Gede. Saya berhasil menggeret dua lempeng (kerupuk) warna-warni dan membetot dua telur. Rasanya senang sekali. Tapi, ketika saya keluar dengan susah payah dari tumpukan orang, ada yang nyerobot kerupuk saya tanpa bisa saya cegah. Akhirnya, saya pulang hanya membawa satu kerupuk dan dua telur. Tubuh saya basah kena keringat orang-orang.
Sampai di rumah, dengan bangga saya tunjukan hasil rayahan gunungan itu pada ayah. Maksud saya, agar dipasang di senthong tengah atau atas pintu seperti yang dilakukan oleh para tetangga. Tapi, ayah saya malah menyuruh saya duduk dan mengingatkan agar tidak ikut rayahan apapun lagi. Berbahaya, bisa ”pendeng” alias gepeng terinjak-injak, atau tergencet perayah lain. Apalagi tubuh saya kecil, imut-imut.
Yang lebih ditegaskan ayah, rayahan itu tidak terhormat. Kalau menginginkan sesuatu mustinya berjuang mendapatkannya melalui proses yang baik. Bukan dengan mengambil yang ”diuncalkan” atau dilemparkan oleh pihak lain atau yang potensial jatuh ke hadapan kita.
”Kenapa dibilang ngalap berkah?” tanya saya waktu itu. Ayah dengan mantap menjawab, ada berkah yang lebih besar dari Tuhan ketika kita berusaha keras mendapatkan sesuatu dengan cara terhormat dan tanpa menginjak-injak harga diri. Waktu itu saya belum begitu paham perkataan ayah karena dia tidak menggunakan bahasa yang sesuai untuk anak-anak.
Ada rayahan lain yang populer di kalangan anak-anak. Yaitu rayahan layangan putus. Ketika adu layang-layang dan salah satu putus benang alias kalah, maka layang-layang dan benang itu dianggap menjadi milik publik. Siapa yang bisa mendapatkannya boleh memilikinya. Terjadilah rebutan mendapatkan layang-layang yang melayang kleyangan dibawa angin.. Anak-anak akan kontan berlarian mengejar si layang-layang putus. Bagaikan kalap, mereka menerabas apapun, naik atap rumah orang, menyeberang jalan, tanpa menghiraukan bahaya yang bisa terjadi. Ketika layang-layang akhirnya semakin merendah dan terjangkau tangan anak-anak, terjadilah rayahan itu. Ada lagunya, ”Ayo dha rayahan... rayahan... suwek-suwekan...” ”Mari berebut, rayahan... sobek-sobekan...” Karena maunya dia yang dapet tapi tidak bisa, anak nakal akan menyanyikan lagu itu dan artinya sah-sah saja menyobek-nyobek layang-layang yang bahkan sudah berada di tangan anak lain. Maksudnya, agar tak satupun memiliki layang-layang itu.
Seperti juga actionnya, kata ”rayahan” akhirnya berkonotasi negatif. Orang yang suka merayah sesuatu, dianggap kurang bermartabat. Model rayahan yang lebih parah adalah menjarah. Menjarah milik rakyat, milik publik, atau milik orang lain, milik pihak yang dianggap musuh, sama tidak bermartabatnya dengan merayah.
Tapi, itulah yang sejak Reformasi semakin membudaya. Sekarang banyak orang menjadi penguasa baru. Penguasa trotoar, halaman rumah orang, jalan-jalan di sekitar pasar, perempatan jalan, dan wilayah-wilayah milik publik. Tanpa wigah-wigih orang merayah dan menjarah hak-hak dan privacy orang lain dalam berbagai bentuk dan versi. Kayak dijaman Revolusi Perancis saja.
Tragedi Pasuruan Lebaran yang silam, masalah Sultan’s grounds dan area PJKA, palak-memalak, ekonomi biaya tinggi yang membuat para investor boyongan ke negara lain, merupakan efek rayahan oleh massa.
Benar-benar hasil pelajaran tempo doeloe yang berhasil jadi PR bikin mumet untuk masa kini.
Terror tidak harus berkaitan dengan para teroris yang diduga bakal meledakkan bom. Sesuatu yang mencekam dan membuat trauma dan ketakutan yang berkepanjangan, bisa saja disebut teror. Begitu pula usaha menakut-nakuti seseorang. Ini sih, definisi pribadi, bukan definisi ilmiah dari kacamata psikologi atau semacamnya.
Teror tidak pula musti berasal dari para separatis atau mereka yang punya misi jihad. Teror bahkan bisa ditebarkan oleh orang tua sendiri. Hi, ngeri. Mana ada teror seperti itu? Ada. Terlebih, tempo doeloe. Tepatnya, sebelum tahun delapanpuluhan, ketika ortu belum begitu well-informed tentang perkembangan jiwa anak. Teror by ortu tentu saja bukan teror yang deadly, mematikan. And toh, tetap berbahaya karena bisa saja mematikan keberanian anak atau setidaknya menghambat anak tumbuh menjadi pribadi yang mentally sehat atau normal.
Teror kecil-kecilan yang dilakukan ortu jaman dulu beragam. Alasannya pun beda-beda. Ada yang sengaja untuk menakut-nakuti agar anak patuh dan tidak nakal, ada yang sekedar ledekan untuk menggoda si kecil. Contohnya, teror tentang ayah. Para ayah yang kebetulan priyayi atau terhormat di masyarakat seringkali jadi figur yang menakutkan anak-anak, bahkan anak-anak mereka sendiri. Ibulah yang justru sering menteror anak dengan mengatakan, ”Awas.. bapak pulang.” Atau, ketika cari jalan pintas menangani anak yang ngrepoti aktivitas mereka, para ibu sering mengancam, ”Lihat nanti kalau bapak datang, tak bilangin.” Para ibu Yogya sering berkata, ”Mengko tak aturke bapak!”
Bapak. Begitu dengar sebutan itu, anak langsung merasa ngeri. Di benak mereka, bapak adalah sosok yang bakal memarahi, yang galak, yang serem. Banyak anak tidak berani duduk berhadapan dengan ayah mereka. Kalau sampai dipanggil ayah, artinya akan didukani, dimarahi. Diadili berdasar laporan ibu. Boro-boro ngobrol. Begitu ayahnya datang, anak akan langsung menghilang dari peredaran, main bersama anak-anak lain. Pada jaman itu, seorang ayah sering dianggap momok oleh anaknya sendiri.
Teror kecil-kecilan yang acap kali diucapkan seorang ibu sering membuat anak tercekam dan sangat ketakutan bahkan pada ayahnya sendiri. Meskipun fakta menunjukkan si ayah baik dan sayang padanya, anak tetap merasa itu suatu bonus, bukan sikap yang sebenarnya. Begitulah para ibu tempo doeloe, seringkali membiaskan ketakutan dan rasa inferiornya sendiri pada suami.
Teror kecil-kecilan dalam aneka bentuk sering digunakan untuk menakut-nakuti anak-anak agar mereka patuh, tidak rewel, tidak nakal, dan duduk manis tidak ngrepoti. Atau, sekedar untuk menggoda atau ngledekin anak. Ortu sering tidak sadar, yang dilakukannya berefek teror pada anak. Apalagi jika anak itu masih berusia di bawah empat tahun dan kelewat imajinatif.
Sampai sekarang, saya benci pada kambing. Padahal, belum pernah diapa-apakan kambing. Hanya saja, saya selalu merasa tidak happy tiap kali ibu saya mengatakan bahwa saya sebenarnya bukan anaknya melainkan anak wedhus (kambing) Pak Joyo, tetangga kami. Pak Joyo sering menggembalakan kambingnya ke alun-alun yang waktu itu banyak ditumbuhi rumput. Kambing Pak Joyo kumal-kumal, pantatnya ngetepol, dan suaranya”Mbeek... mbek...” Jelek sekali menurut telinga anak kecil. Tiap kali dengar kambing-kambing itu lewat depan rumah, saya selalu sembunyi di kamar mandi atau di bawah dipan. Apalagi kalau mereka berjubelan karena berebut menerobos pagar teh-tehan depan rumah dan memakan tanaman-tanaman yang ada. Biasanya ibu akan berteriak, ”Tuh kamu dijemput... mau diajak pulang... .” Saya ketakutan sekali karena ibu juga pernah berkata bahwa salah satu kambing yang gemuk itu adalah ibu saya yang sebenarnya.
”Lha kok aku di sini?” tanya saya tidak percaya.
“Ibu kasihan aja, maka tak bawa ke sini, tak jadikan anakku. Tuh dia lihat kamu terus...” Sejak itu tiap ada kambing lewat atau lihat kambing, saya selalu ketakutan. Lama-lama jadi takut pada kambing beneran. Bahkan sampai sekarang, nggak suka sama kambing. Kecuali kalau sudah jadi gule.
Gurupun juga sering menteror. Sebutan guru killer populer sekitar tahun delapanpuluhan. Guru killer, guru yang galak dan suka ”ngecing.” Tapi sebelum era itu, banyak guru jauh lebih menyeramkan. Senjata mereka bukan cuma ancamannya tapi juga penghapus, penggaris besar, kapur. KDK... Kekerasan Dalam Kelas tidak jarang terjadi. Alias sering. Bukan bullying oleh teman tapi oleh guru. Kalau ada anak ngobrol atau menga-mengo sedikit saja, langsung dilempar penghapus kepalanya. Atau, guru akan mendekat dan siap menjewer kuping siswa. Perlakuan tidak adil dan pilih kasih kerap dijumpai. Anak-anak dari keluarga yang sangat miskin, anak PRT, dan anak-anak yang memang bandel sering diperlakukan dengan ”istimewa” buruknya oleh guru. Digebuk pakai penggaris besar ketika gagal mengerjakan soal di depan kelas, bukan hal aneh.
Doeloe, teror-teror seperti itu banyak sekali dan ortu tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau anak pulang sekolah menceritakan perlakuan guru, dia justru akan dimarahi orang tuanya karena dianggap dia sendirilah yang bersalah. Akibatnya, banyak anak cabut dari sekolah dan drop out. Lain banget dengan sekarang, guru tidak berani main kayu pada anak. Ortu bisa menuntut.
Ada saudara saya yang seumur hidup tidak berani menemui tamu dan selalu takut pada orang lain karena trauma digebuk guru dan dikata-katai. Dia jadi super inferior dan menarik diri dari pergaulan karena menganggap semua orang jahat. Ketika diperlakukan tidak manusiawi oleh gurunya, dia tengah peka-pekanya karena baru saja ditinggal ibunya menghadap Tuhan. Guru itu tentu saja tidak pernah tahu akibat dari perlakukannya itu.
Ada lagi teror lain yang juga umum di masyarakat. Teror tentang hantu. Agar anak-anak tidak keluyuran di malam hari, begitu Maghrib menjelang, orang tua segera memanggil anak-anak masuk rumah. ”Pulang, nanti ada Candik Ala.” Tanpa penjelasan itu makhluk apa dan seperti apa, ortu begitu saja menakut-nakuti anak-anak Bahkan, sering dengan ancaman yang seram, ”Pulang, sudah malam, nanti digondol Wewe Gombel lho...” Atau, ”Ayo makan, lihat tuh kalau nggak mau... ada putih-putih di sana...”
Bayangkan saja. Dimasa listrik belum ada dan lingkungan masih rungkut pepohonan dan semak, teror ortu seperti itu membuat anak-anak benar-benar ketakutan. Akibatnya, anak jadi penakut. Ke kamar mandi saja minta diantar. Sudah gitu, karena malas ngantar, orang tua jadi marah-marah karena anaknya penakut berat. Lupa kalau mereka sendirilah yang membentuk jadi seperti itu.
Cara untuk mencegah anak-anak main terlalu jauh dari rumah yang sangat populer pada tahun tujuhpuluhan adalah isu penculik. Montor abang atau mobil merah atau truk bertutup terpal dengan ”cap gunting-gunting peso” benar-benar efektif untuk menakut-nakuti anak-anak agar tidak main jauh dari rumah. Cerita yang ditebarkan, keduanya adalah ”Duyung,” penculik anak-anak kecil. Anak-anak akan ditangkapi dan dimasukkan ke mobil merah atau truk bergambar ”Cap gunting- gunting peso.” Kalau sudah tertangkap, anak-anak akan dijadikan tumbal pesugihan. Kedua matanya akan dicungkil, dibuat cendol dawet untuk disajikan di perempatan jalan raya atau jembatan. Anak-anak kecil takut setengah mati pada yang namanya ’duyung’ itu.
Suatu hari, saya dan teman-teman bermain di alun-alun selatan. Waktu itu di tengah alun-alun ada taman lalu lintas, arena bermain anak-anak. Pada sore hari atau hari libur, arena itu dibuka untuk umum. Anak-anak bisa naik sepeda roda tiga atau roda dua yang kecil. Ibu-ibu juga membawa anak-anak mereka yang sedang belajar berjalan ke situ.Tapi karena terbengkelai, taman lalu lintas jadi tidak terawat dan tampak seram. Kalau malam untuk tidur gelandangan. Karenanya, anak-anak tidak boleh main ke situ lagi.
Suatu siang, saya dan teman-teman memanjat pohon untuk memetiki buah Pedang-pedangan karena mau pentas ketoprak-ketoprakan. Tiba-tiba ada mobil merah muncul dari arah barat. Kontan kami bergegas turun. Saking paniknya, kami begitu saja melorot hingga dada kami terbarut-barut batang pohon. Merasa paling besar di antara teman-teman, cepat-cepat saya menyuruh Ika, Darbo, Umi, Putik, Yanto, masuk ke bawah jembatan kecil di arena itu. ”Montor duyung... Montor duyung!” Hampir satu jam kami sembunyi di parit dan menginjak kecebong, berudu katak, dan air kotor di parit itu. Gara-gara takut diculik mobil merah yang berputar-putar mengitari alun-alun mencari anak-anak kecil....
Montor duyung itu akhirnya pergi dan kami pulang dengan ketakutan. Tentu saja kami tidak berani menceritakan kejadian itu pada ortu karena tahu cuma bakal dimarahi karena main jauh dari rumah.
(Setelah kelas tiga SD kami baru tahu mobil merah itu mobil VW kodok milik sebuah kursusan setir mobil)
Teror yang juga sering dilontarkan pada anak-anak adalah kalau nelan biji buah-buahan. Pernah saya tanpa sengaja menelan biji buah Duwet. Kakak sepupu saya langsung menakut-nakuti, ”Dua hari lagi bakal tumbuh di kepalamu... lihat aja sendiri!”
”Iya po?” Kakak tampak serius mengiyakan. Dia tidak pernah tahu bagaimana semalaman saya tidak bisa tidur gara-gara tiap kali meraba-raba kepala. Ketika siangnya buang air besar, segera ”si itu” saya korek-korek pakai lidi bambu. Syukurlah, biji itu ada di situ...
Itu sih kebetulan saja. Bayangkan kalau ternyata sudah hancur tercerna, apa saya tidak akan ketakutan berhari-hari karena was-was si biji benar-benar thukul?
Maunya bercanda atau menggoda, orang tua atau orang dewasa sering tanpa sadar menteror anak-anak.
Yah, maklumlah. Jaman doeloe kan belum ada majalah seperti Ayah Bunda atau tabloid Nakita, atau buku-buku perkembangan kepribadian seperti sekarang.
Mencari buah-buahan jatuh adalah agenda pagi anak-anak tempo doeloe. Orang tua tidak punya anggaran menyediakan buah-buahan. Kalau sekarang kulkas penuh buah dan jus namun jarang disentuh, dulu untuk sekedar makan jambu, anak-anak harus berburu dipagi-pagi buta. Halaman rumah tetangga yang punya pohon menjadi area perburuan itu.
Di wilayah kami, tepatnya di sebelah rumah, ada rumah bangsawan yang berhalaman luas dan ditumbuhi pohon-pohon besar. Pohon buahan-buahan yang berkualitas prima. Maklum, pemiliknya adalah Gusti Bei (Gusti Pangeran Hangabehi), paman Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Dalem itu namanya Dalem Ngabean. Letaknya di sebelah barat alun-alun selatan, di kampung Ngadisuryan. Karena sekarang sudah berganti pemilik, namanya ganti.
Dalem Ngabean benar-benar tempat perburuan buah-buahan yang jadi idola anak-anak sekitar. Pohon jambu hijau semburat merah di sisi timur dekat dengan rumah induk, pohon-pohon sawo kecik yang kokoh dan anggun, pohon mangga manalagi dan sengir, pohon belimbing wuluh, bahkan pohon Kantil, merupakan sumber kegembiraan anak-anak.
Tiap pagi, banyak buah berjatuhan. Kami biasa mengambilinya: mangga atau jambu bekas gigitan codot, buah sawo kecik, belimbing wuluh yang kecut, dan lain-lain. Begitu dapat, langsung kami bawa pulang untuk dicuci bersih (kalau tidak malah dilap begitu saja pakai baju). Itulah salah satu menu harian kami. Kami tidak mau memanjat dan memetik sendiri buah-buahan itu, meski mungkin diijinkan, karena meski masih anak-anak, kami sangat menghormati Gusti Bei yang berwibawa dan murah hati itu.
Suatu hari, karena takut keduluan anak-anak yang lebih besar dan nekad, saya sengaja berangkat pagi-pagi buta. Saya merasa harus berangkat mendahului anak-anak lain karena khawatir tidak kebagian. Pasalnya sebelum tidur bapak sudah mengisyaratkan bahwa besok pagi bakal tidak ada enthog-enthog, jajanan tradisional buatan penjual dari desa yang biasa kami jadikan sarapan. Bapak lagi tidak punya duit untuk membelinya. Karenanya, saya harus bisa mendapatkan entah jambu atau sawo agar ada pengisi perut. Apalagi hari itu ada pelajaran olah raga (dulu namanya PD, singkatan Pendidikan Djasmani). Kalau lapar bisa berabe, semaput.
Dengan sigap saya membuka pintu belakang dan lari ke halaman Ndalem Ngabean. Sampai di sana sangat senang karena belum ada anak lain. Langsung saja saya menuju bawah pohon jambu hijau favorit saya. Jambu air berwarna hijau dan kalau masak semburat warna merah itu sangat segar dan manis. Rasanya khas. Di wilayah kecamatan Kraton, hanya ada tiga rumah yang memiliki pohon itu. (hasil survei anak-anak). Tapi yang ada di Ndalem Ngabean jauh lebih lezat. Waktu itu, saya sampai excited mendapati banyak jambu hijau berjatuhan. Langsung saja saya ambili dan taruh di bagian depan rok. Begitulah cara anak-abnak membawa buah-buahan. Jadi, nggak pakai wadah.
Dengan gembira saya lari pulang. Tiba-tiba, sebelum keluar dari halaman Ndalem Ngabean itu, ada lampu senter diarahkan pada saya.
”Kamu thuyul bukan? Katakan, thuyul bukan?” Seorang bapak menyapa saya dengan suara gemetar.
”Saya....Saya... anaknya Pak Pandam,” jawab saya seraya menyebut nama bapak. Karena dia tidak bakal mengenal nama saya. Lagian, takut dikira maling.
”Syukur... tak kira ki thuyul. Kok jam dua sudah cari jambu...” kata bapak itu sambil tersenyum.
”Hah... baru jam dua?” balas saya, ganti ketakutan.
”Pak... saya diantar pulang, ya... takut...”
Pak Gondopun akhirnya mengantar saya pulang sambil senyum-senyum.
”Ditutup lagi ya, pintunya...” kata beliau begitu saya masuk halaman dan mengucapkan terimakasih.
Malam itu saya memejamkan mata dengan lega. Malam yang tidak memerlukan mimpi indah...
Yangdrim penjual kembang gula cicak warna-warni yang sangat disukai anak-anak tempo doeloe. Dulu saya kira Yangdrim tuh nama pemilik warung, seorang ibu tua yang pendengarannya sudah sangat berkurang. Saya kira “Drim” artinya tuli. Habis, kalau beli di situ harus teriak-teriak dulu. Ternyata, dari kakak sepupu saya, Mas Yoyok, saya dapat info, nama itu julukan saja buat warung itu. Pasalnya, mahasiswa yang mondok (kost) di situ sering menyanyikan lagu favorit, yang salah satu syairnya berbunyi “young dream.” Kalau tidak salah, dari lagu Cliff Richard yang berjudul “Young One.” Karena orang lewat sering mendengar ”yangdrim... yangdrim” dari rumah itu, warung itu lantas dijuluki warung Yangdrim.
Begitulah era tujuhpuluhan, masa-masa awal pemerintahan Orde Baru. Everybody sang songs. Orang begitu enjoy menyanyi. Menyanyi keras-keras, menyanyi di kamar mandi, asyik-asyik aja. Tidak peduli segembreng atau sesomber apa suaranya, orang pede saja menyanyi. Pas banget dengan ajakan The Carpenters lewat lagunya “Sing,” ”Don’t worry that it isn’t good enough for anyone else to hear, just sing, sing a song.” Sepertinya, pumpung menyanyi tidak dilarang.
Edan, po, nyanyi aja kok dilarang-larang?! Mana ada? Begitu barangkali anda bertanya. Eh, jangan keliru. Pernah ada dalam sejarah kita, lho, pelarangan menyanyi. Meski bagi saya sendiri yang waktu itu masih kecil, capet-capet alias nggak terlalu ingat banget. Kalau tidak salah, sebelum tahun enamlima. Terutama lagu-lagu Barat. Ketahuan nyanyi lagu-lagu Barat (bahkan sekedar menyetel atau mendengarkan lewat radio luar negeri) bisa masuk penjara. Lagu atau musik Barat, yang disebut ”Ngak- Ngik-Ngok,” dilarang keras. Itu mah, revolusi kebudayaan ala Bung Karno. Tepatnya gerakan anti Amerika atau Go to Hell Yankee, seperti yang juga dilakukan oleh Mao di RRT. Maksud Bung Karno, melindungi kaum muda dari Neoimperialisme. .
Jadi, nyanyi pernah tidak sebebas biasanya. Yang waktu itu mengalami dan lagi hot-hotnya jadi anak muda, pasti tahu seperti apa rasanya dilarang-larang mengekspresikan feeling. Apalagi, kalau kebetulan lagi jatuh cinta atau patah hati. Pasti bener-bener merasa terbungkam. Garing tidak tersentuh keindahan dan kelembutan. Saya masih ingat bagaimana Om saya, Om Not, yang waktu itu sekolah di SMA De Britto, sering sembunyi-sembunyi nekad menempelkan telinga di radio yang disetel pelan-pelan untuk mendengarkan lagu favoritnya, ”Don’t Forget to Remember.”
Kalau setelah itu menyanyi jadi kebutuhan dan siapapun tanpa wigah-wigih dan malu-malu berteriak-teriak menyanyi sepanjang hari, seperti Mas Yangdrim, bisa dimaklumi. Apalagi, dijaman itu belum ada tape recorder. Jadi, radio benar-benar menjadi satu-satunya acuan masyarakat. Apa yang diputar RRI, itulah yang dikenal publik. Hebatnya, keinginan generasi muda jaman itu untuk bisa hafal dan nyanyi suatu lagu sangat besar. Berbekal buku notes kecil bergambar monyet nulis dan pensil ungu (waktu itu belum ada balpoin), mereka mencatat syair lagu yang terdengar dari radio. Seringkali setelah lagu berakhir, syair yang mereka catat belum komplit. Musti nunggu sampai RRI memutar lagi lagu yang sama. Dan itu bisa berarti keesokan harinya atau mungkin beberapa hari kemudian. Begitu dengar lagu itu diputar lagi, kontan mereka akan berlarian ke rumah tetangga yang punya radio, menempelkan telinga di jendela, sekedar numpang nguping lagu yang mereka suka dan melengkapi syair lagu yang belum tertulis semuanya dan masih bolong-bolong di sana-sini itu. Diperlukan berminggu-minggu untuk melengkapi satu syair lagu saja. Terlebih kalau itu lagu Barat atau berbahasa Inggris.
Udah gitu, karna penguasaan Bahasa Inggrisnya terbatas, yang berhasil dicatat bisa aneh-aneh. ”But darling” jadi “pathaling,” ”You got the world” bisa aja jadi ”You got the lo,” dan lain-lain. But, every body was happy. Ketika perut lapar karna perekonomian baru saja mulai merangkak, nyanyi benar-benar jadi hiburan yang sangat murah meriah. Sampai-sampai, syair lagu The Begees, ”It’s only world” jadi populer di masyarakat dan dinyanyikan, ”Iso ngliwet/ Ngliwet sego anget...” Lagu yang ”bikin kenyang” meski nasinya tidak kunjung datang...
Tapi, ternyata itu pula salah satu cara efektif belajar Bahasa Inggris. Dengan mencatat syair lagu, tanpa sadar seseorang belajar lewat listening practice. Begitu lyric didapat, aktivitas berikutnya pastilah mencocokkan dengan kamus. Artinya, belajar vocabularies. Setelah itu, berusaha menyanyikan lagu itu semirip mungkin dengan penyanyinya. Berarti, berusaha mengucapkannya dengan pronunciation yang pas. Bisa lagunya, sering menyanyikan, tapi nggak tahu artinya? Buat apa? So, pastilah ada upaya mengetahui maknanya dengan mencoba menerjemahkan. Akhirnya, selain happy menyanyi, aktivitas nyatat lagu membuat seseorang belajar Bahasa Inggris dengan cara yang mengasyikkan.
Teman saya, Pak Herman, sampai punya koleksi ribuan lagu Barat yang dia kumpulkan sejak sekolah dan dari hasil tukar-menukar dengan teman-teman dan kerabatnya yang punya hobby sama. Bahasa Inggrisnya bagus dan orangnya selalu ceria. Ketika terakhir bertemu, dia tampak awet muda. Younger than his age. Efek menyanyi...
Sampai tahun tujuhpuluhan, menyanyi jadi membudaya. Band-band banyak sekali dan seluruh masyarakat seperti mengikuti. Pada era inilah penyanyi-penyanyi legendaris dan lagu-lagu yang sekarang kita anggap nostalgia benar-benar merebak membuat seluruh masyarakat gembira ria meski perutnya keroncongan. Sentuhan lembut dan gembira musik membuat orang tidak marah meski kondisi kehidupan, terutama perekonomian, parah.
Koes Plus dalam hal ini pantas mendapat penghargaan tersendiri karena lagu-lagunya yang menyentuh segala kalangan berhasil meredam kerisauan dan jeritan kelaparan masyarakat luas. Para musikus dan penulis lyrik lagu seperti Zaenal Arifin yang menceriakan masyarakat dengan lagu-lagu ciptaannya seperti lagu ”Teluk Bayur” sangat berjasa pada bangsa ini. Juga penyanyi-penyanyi seperti Ernie Johan, Tety Kadi, Christine, Lilis Suryani, Rahmat Kartolo, Titik Sandhora dan Muchsin, dan lain-lain. Juga band-band Zaenal Combo, Patty Bersaudara, Trio Bimbo, The Mercy’s, Panbers, hingga kelompok si raja dangdut Rhoma Irama. Pada era ini Titik Puspa patut dicatat secara khusus karena setelah Zaenal Arifin, A. Riyanto dan dialah yang banyak berkiprah menghidupkan musik dan melejitkan banyak penyanyi legendaris. Belum lagi, mereka yang namanya tidak dikenal publik tapi karyanya telah menghibur masyarakat luas.
Musik membuat orang Indonesia tetap gembira meski kondisi keuangan sangat minus. Daya juang dan martabat sebagai manusia tetap tinggi.hingga langka sekali orang nyremimih dan minta dikasihani. Semua punya harapan, terutama generasi mudanya. Djokja juga penuh anak muda dari Sumatera, Kalimantan, dan daerah-daerah lain di Jawa, yang dengan heroik mengadu nasib dan kuliah dengan segala keterbatasannya The young generation’s dream... to live better. Yangdrim.
Terutama ketika menyebut nama, baik nama orang, nama tempat, nama kejadian, dan sebagainya, orang Djokja tempo doeloe sering menunjukkan sikap kurang merespek yang punya nama. Kalau orang Barat punya kebiasaan bertanya, ”How do you spell your name?” (Gimana ejaannya?), orang Djokja tempo doeloe kebanyakan tidak peduli dengan hal itu. Mereka sering sekenanya menyebut nama.
Tidak heran, banyak nama tempat yang jadi mlenceng dari nama aslinya. Misalnya Kretek Kewek, yang mustinya Kerkweg (jalan menuju gereja), Kerkop (Kerkhopf), dan lain-lain. Memang sih bisa dimaklumi karena nama asing memang sulit diucapkan. Tapi, mustinya tidak sekenanya menyebut suatu identitas.
Nama-nama kampung yang ada di Djokja kemungkinan berasal dari rasa males menyebut nama lengkap. Misalnya wilayah Mantrijero. Wilayah ini dulu tempat bermarkasnya prajurit kraton yang bernama Mantrijero. Dari pada susuah-susah menyebut dan biar sesuai dengan rasa sreg yang mengucapkan, langsung saja ditrabas jadi ”Mantrijeron.” Begitu pula wilayah-wiayah lain. Ada Daengan, Wirobrajan, Ketanggungan, yang kesemuanya wilayah pemukiman prajurit kraton. Begitu pula rumah-rumah bangsawan atau putra Sultan. Rumah milik Pangeran Hangabehi lantas disebut Ngabean (dulu, di barat alun-alun selatan). Juga rumah-rumah bangsawan lainnya. Sehingga ada Condrodiningratan, Purwodinigratan, Tejakusuman, Suryodiningratan, Cokrodiningratan, Mangkukusuman, dan sebagainya (kecuali Mangkubumen).
Rasa males dan mungkin sekenanya serta semau gue membuat nama-nama yang berawalan b, d, g, dan j, selalu ditambahi bunyi yang menopang sehingga enak dan mudah diucapkan. Contohnya:
Bandung jadi mBandung Bantul jadi mBantul Bogor jadi mBogor Bawen jadi mBawen Buri jadi mburi
Dagen jadi nDagen Daengan jadi nDaengan Dongkelan jadi nDongkelan Depok jadi nDepok Dipowinatan jadi nDipowinatan Deso jadi ndeso
Gowongan jadi nGgowongan Gunung Kidul jadi nGgunung Kidul Gowok jadi nGgowok Glagah jadi nGglagah Gerjen jadi nGgerjen
Jeron Beteng jadi Njeron mBeteng Jogonalan jadi nJogonalan Jomegatan jadi nJomegatan Janti jadi nJanti Jatirejo jadi nJatirejo Jatimulyo jadi nJatimulyo Dll.
Para pakar Bahasa Jawa pasti tahu peristiwa apa namanya. Mungkin mereka bisa menjelaskan secara ilmiah. Tapi, dari kacamata awam, kecendrungan itu karena rasa males dan menganggap nama tidak terlalu penting. Atau, mungkin demi enak dan gampangnya mengucapkan. Atau, semau saya gimana mengucapkan dengan enak. Seperti halnya orang sekenanya menrabas nama tetangga, misalnya Joyo Sumarto jadi Jo Marto, Abdul Slamet jadi Dul Slamet. Harjo Winangun jadi Jo Mangun.
Entah kenapa, ada kesan seenak udel menyebut nama orang atau tempat. Kalau orang bisnis jaman sekarang menyerahkan brand produk pada copy writer dan bersedia membayar mahal agar nama perusahaan atau jualannya, entah itu motor, ayam goreng, kampus, mobil, rokok, dan lain-lain, jadi trendy dan hoki, dulu nama begitu saja dibuat. Cuma berdasar ciri fisik atau kesan pertama si pembuat, cukup sudah. Belum ada pemikiran menciptakan nama yang indah, enak disebut, atau bakal membawa aura positif.
Coba perhatikan nama-nama makanan tradisional atau jajan pasar. Nggak ada yang bagus dan trendy. Nih, kalau didaftar, banyak sekali. Apalagi kalau anda ikutan nambahi:
Bunyinya tidak ada yang manis dan elegan. Artinya pun juga tidak bagus. Padahal, rasa jajanan diatas mayoritas enak. Penamaan yang ngawur justru membuat orang males bahkan risih. Gimana tidak. ”Unthuk Cacing” kok nama makanan. Aneh, kan? Juga ”Tholpit,” jajanan khas Bantul itu. Kalau mau beli, gimana bilangnya pada si penjual? Kan sungkan dan malu. Apalagi, nama itu singkatan dari Mr. P yang terjepit. Ih, nggak banget...
Nama-nama tidak pantas juga sering dipakai untuk menamai tanaman. Ada kembang ”Gawuk-gawukan” (maaf), karena begitu memandang bunga itu, asosiasi orang langsung ke bentuk vagina. Juga daun ”Entut-entutan,” dan sebagainya. Kalau itu tempo doeloe, mau gimana lagi.
Sayangnya, sikap kurang merespek nama orang lain itu sepertinya terwarisi oleh beberapa orang dari generasi masa kini. Contohnya, pemilu yang lalu. Pemilu yang baru lalu juga penuh dengan nama-nama baru dan aneh yang membuat si empunya nama bengong atau tersentak ketika namanya dipanggil. Ada ”Dian Ratri” yang berubah jadi ”Diah Ratih, ” ”Supardan” yang tiba-tiba jadi ”Padang Suryo,” ”Nurina” jadi ”Nuraini,” ”Warasti” jadi ”Warsiti,” dan masih banyak lagi. Bayangkan, kalau ganti nama harus bikin nasi urap alias bancaan, berapa musti dikeluarkan oleh team KPU untuk mengganti nama-nama warganya.
Tapi, ada juga lho penamaan yang positif. Yaitu nama atau brand becak dan krupuk. Pada slebor becak bisa kita lihat nama-nama yang bagus. Mulai dari nama orang dan wayang, misalnya Handayani, Arjuna, Semar, Sri, dan lain-lain. Juga nama yang mengandung harapan: Makmur, Restu, Lancar, dst. Nama-nama yang tertera pada kaleng krupuk di warung-warung juga serba positif: Subur, Eco, Marem, dll.
Mbok ya seperti itu kalau memberi nama. Banyak lho, nama tempo doeloe yang bernuansa negatif. Misalnya Sungkowo (duka cita), Prihatin, Sujono (cemburu), Raharto (nggak punya harta), Sunyi, dan sebagainya. Maksudnya mungkin untuk mengenang apa yang tengah dialami oleh si pemberi nama (orang tua). Tapi, kalau nama berarti sebuah harapan, masak sih berharap yang negatif-negatif, jelek-jelek, sedih-sedih? Kita bisa lihat bagaimana nama Thukul sangat positif bagi mas Thukul Arwana, juga nama Bill Gates, gerbang-gerbang dollar bills, bagi si pemilik Microsoft dari Amerika itu.
Barangkali benar, bahwa naming… pemberian nama, bukan masalah naming nami, cuma nama. Juga penyebutan nama. Jangankan sederet kata yang menyusun sebuah nama. Satu huruf pun bisa mengubah makna. Nama saya PANDAMNURANI. Pandam artinya dian atau lampu. Nama yang tertulis di STNK, PADAMNURANI. Hanya selisih satu huruf kecil ”n,” tapi artinya langsung bertolak belakang. Begitulah yang terjadi pada STNK motor saya. Semoga nurani saya tidak betul-betul mbleret , dan akhirnya padam.
Penting po? “What’s in a name?” Kan cuma nama!? Apalah artinya... Perkataan Juliet dan Romeo itu seringkali disitir orang untuk menyatakan betapa nama tidak terlalu penting. Mungkin begitu pula pendapat sementara orang Djokja tempo doeloe. Lho, kok, memangnya ada apa?
Ada sikap kurang respek pada nama. Gitu. Padahal, orang Djokja kan selalu pakai ritual khusus ketika memberi nama anak. Paling tidak, bikin ”bancaan kalo.” Si ibu pura-pura jualan urapan (orang Yogya bilang, ”gudhangan”), yang diwadahi kalo (saringan santan) dari bambu. Anak-anak kecil diundang, dan disuruh pura-pura beli pakai kreweng (cuilan genteng). Wadah bancaannya sebuah pincuk dari daun pisang. Tentu saja, makannya tidak pura-pura. Dimasa nasi begitu berharga dan makan nasi belum tentu seminggu sekali, bancaan kalo jadi momentum favorit anak-anak. Apalagi ada telur rebusnya. Kalau anak sekarang disuruh makan telur sulitnya minta ampun, dulu telur secuil yang ada dalam bancaan serasa istimewa. Padahal cuma sauplik Kecil mungil. Tepatnya, kalau pakai ukuran matematika: seperdelapan. Sebuah telur ayam dibagi delapan. Bayangkan betapa kecilnya. Tapi, telur itu sangat diidamkan. Memakannya pun belakangan. Saking berharganya, dieman-eman. Dijadikan GONG. Alias, untuk hidangan penutup. Berkat bancaan itu, bisa dijamin anak-anak tidak akan melupakan nama baru si anak yang dibancaki. Sebagaimana mereka nggak bakal lupa akan bancaannya.
Bancaan kalo juga dilakukan kalau mengganti nama anak. Jaman dulu gonta-ganti nama tidak aneh. Kalau anak tidak suka pada namanya dan minta ganti, orang tua ada yang mau menggantinya begitu saja. Ganti nama juga sering dilakukan bila disuruh ”orang tua” atau dukun. Misalnya, si anak suka sakit-sakitan. Mbah duluk biasanya mengatakan anak itu kabotan jeneg, keberatan nama. Daripada nggak kuat menyandang nama yang terlalu hebat, diganti saja namanya..
Ritual memberi nama bisa lebih komplit dari sekedar membagi gudangan ke anak-anak. Pakai dibuatkan bubur merah dan putih serta bubur ”baru-baru.” Artinya, nama memang hal penting. Selain salah satu ujud identitas, nama adalah ungkapan harapan baik orang tua.
Anehnya, meski tahu nama itu penting dan sakral, orang sering saja seenaknya memberi nama julukan atau paraban pada orang lain. Boro-boro kalau julukannya bagus dan mentereng. Julukan yang diberikan cenderung lebih jelek dari nama asli.
Julukan biasanya diberikan pada seseorang yang punya ciri
khas fisik. Atau, kalau kebetulan di suatu desa atau komunitas tertentu terdapat beberapa nama depan yang sama sehingga masing-masing harus diberi pembeda. ”Gelar” baru pun diberikan orang.
Ada psikolog berdomisili di Jakarta tapi Yogya berpendapat bahwa julukan berpengaruh positif pada seseorang. Dia akan cenderung sabar dan rendah hati. Selain itu, dia akan me
rasa dirinya istimewa. Betulkah? Jangan-jangan yang terjadi justru sebaliknya. Jangan-jangan, karena yang memberi julukan orang yang superior atau punya power (termasuk didalamnya massa atau bahkan orang tua sendiri), maka yang dijuluki tidak bisa berkutik dan terpaksa menerima. Nyatanya, orang-orang yang punya kedudukan tinggi atau terhormat ditengah masyarakat, luput dari ”paraban” ini.
Jadi ingat nih, gimana bersama kakak sepupu, Mas Widodo, saya pernah mengabsen para tetangga satu kampung dengan nama-nama paraban mereka (yang dilabel
kan oleh masyarakat dan benar-benar dipakai). Sambil terpingkal-pingkal, kami meneriakkan nama mereka satu per satu. ”Hush, nggak boleh begitu. Menghina!” gertak ayah tiba-tiba. Klakep. Diamlah kami seketika. Setengah kecewa...
Nama-nama indah nan penuh makna di”sulap” begitu saja oleh masyarakat. Setelah kami sendiri merasakan gimana sulitnya cari nama bagus untuk anak, baru tahu betapa bakal terhinanya orang tua yang anaknya diberi julukan jelek. Terlebih, yang punya nama. Kalau sekarang nama-nama para senior itu diekspose di sini, bukan dalam niatan merendahkan. Just to show how society is cruel, sometimes. Moga hanya sampai tempo doeloe.
Selain memberi nama orang, ada juga trend memberi julukan warung. Kita tahu, sejak dulu, hingga kini, di Yogya ada:
-Bakmi Pele-Bakmi KADIN-Soto Uwuh-Soto Sumuk-Soto Stasiun-Soto Habis-Angkringan Tugu-Lotek Colombo-Empek-empek Ramai
Dan banyak lagi… But, the sexiest of all… Pecel Baywatch!
From rambut panjang, potong bathok, gelung, kucir, krool, hingga potong London. Itulah gaya-gaya rambut Djokja tempo doeloe. Sampai tahun 1980-an, masih sering kita lihat ibu-ibu mengenakan kain jarik. Otomatis, tatanan rambutnya ya spesial. Gelungan. Sekarang, busana dan tatanan rambut seperti itu masih bisa kita lihat di pasar-pasar tradisional. Banyak wanita desa yang masih melestarikan pakaian dan gaya rambut tersebut.
Selain gelung, banyak gaya rambut bermunculan di Djokja. Kira-kira sekitar tahun 68-an, bersamaan dengan masuknya TV, gaya rambutpun mengalami perkembangan pesat. Televisi tahun 1970-an menayangkan iklan-iklan asing yang menampilkan wanita-wanita cantik berambut gaya. Ada yang keriting, potong bob, agogo, dan lain-lain. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan lain-lain, rambut keriting sangat diminati dan menjadi trend. Iklan hairspray banyak ditayangkan. Salah satunya hairspray Corina. Tapi, lain Jakarta, lain pula Djokja waktu itu. Hanya para remaja dan gadis muda yang berani ikut-ikutan trend mode rambut. Para ibu belum punya keberanian untuk ikut trendy. Meskipun mungkin pengin banget.
Gaya rambut keriting inilah yang membuat para gadis berani memotong rambut di atas bahu karena gaya rambut keriting yang populer adalah rambut pendek. Tentu saja musti pendek, karena mengeriting rambut panjang pasti butuh biaya dan waktu lebih banyak. Terlebih, waktu itu tehnologi mengeriting rambut belum secanggih sekarang.
Gadis-gadis yang memilih berambut keriting termasuk berani melakukan perubahan radikal. Biasanya terbatas gadis-gadis yang berasal dari keluarga berada dan modern. Selain biaya mengeritingkan rambut lumayan mahal, sementara orang beranggapan gadis yang anggun adalah gadis yang berambut panjang tergerai atau dikepang. Gadis yang konvensional tentulah tidak berani beda dengan yang mainstream.
Selain model rambut krool atau keriting, berkembang model rambut Bob. Ada yang bilang, dikebob. Potongannya pendek dan kelaki-lakian. Tapi, anak-anak perempuan keluarga modern dan kaya banyak dipotong dengan style tersebut. Gaya rambut Bob dikenal dengan potongan London (baca: Londen). Salon London yang hingga kini masih ada di Jalan Bayangkara, Ngupasan, termasuk salon pertama yang memperkenalkan model rambut pendek atau bob itu. Setidaknya, bagi mereka yang tinggal di wilayah Yogya tengah dan selatan.
Sebelum tahun 1975, beauty salon masih sangat jarang dan tidak semua orang berani ”masuk.” Padahal, potong London lagi mode banget. Banyak anak minta dipotong model itu. Orang tua yang direngeki bingung. Akhirnya, nekad ambil tempurung kelapa, menelungkupkannya di kepala si anak, dan dengan semangat langsung beraksi memangkasi rambut-rambut yang tidak tertutup. Jadilah potong ”London” nan irit.
Tidak semua gadis kecil atau remaja mau di ”potong London.” Rambut panjang kepang dua dengan pita atau kucir air mancur di tengah untuk gadis kecil, tetap saja dibilang funky. Tapi anehnya, rambut pendek semakin menjadi-jadi. Sebenarnya rambut pendek memang impian lama para wanita kaya. Mereka pernah nonton film-film kolosal MGM sebelum tahun 60-an. Banyak yang mengidolakan Deborah Kerr, Grace Kelly, dan bintang-bintang film Barat yang waktu itu sering mereka lihat di bioskop. Bahkan, banyak yang mengoleksi foto-foto mereka. Pantas kan kalau lantas pengen meniru gaya rambut para bintang tenar itu? Tapi, impian itu pastilah cuma dipendam, terlebih ketika Bung Karno menyatakan perang melawan budaya Barat dan meneriakkan ”Go to hell, Yankee!”
Nah, ketika gaya rambut pendek booming, impian terpendam itu langsung dimanifestasikan di kepala putri-putri mereka. Itu untuk keluarga kaya. Trend rambut pendek semakin populer karena didukung oleh kalangan bawah. Tapi bukan karena mode. Banyak gadis kecil terpaksa digunduli atau dipotong cepak gara-gara kutu rambut. Biar tidak malu berkepala gundul, mereka dikerudungi taplak meja yang dibentuk topi. Lengkap dengan peniti di sana-sini.
Kutu rambut memang identik dengan kemiskinan. Gadis gundul tidak bisa merasa malu karena malu itu milik orang kaya. Si ibu tidak peduli anaknya suka atau tidak. Yang penting kutunya hilang. Waktu itu obat kutu rambut belum ditemukan. Menggundul rambut merupakan solusi yang murah meriah namun sebenarnya menyakitkan si anak. Anak sering diolok-olok teman-teman mereka ketika sekolah atau bermain. Sampai-sampai, waktu itu ada lagu yang biasa dinyanyikan anak-anak jika ada pesawat melintas,
Montor mabur njaluk korane,Bocah gundhul, akeh tumane. (Pesawat, minta korannya. Anak gundul banyak kutunya.)
Obat kutu rambut, Peditox, benar-benar dewa penolong para gadis tempo doeloe. Bisa melenyapkan kutu dan kor-kornya dalam semalam. Juga, shampo Hi Top dan Tancho dalam sampul kertas pada awal tahun 70-an. Ketiganya benar-benar tuntas memberantas kutu yang dituduh membuat gadis-gadis jadi bodoh dan tidak sehat serta disingkiri teman-teman mereka. Ketiganya juga melenyapkan, meski perlahan, budaya ”didis” dan ”petan” di kalangan perempuan. Alias, nyari telur kutu dan kutu di rambut teman, sambil ngobrol dan bergossip-ria. Hakuna matata.
Rambut Pria Gaya rambut pria atau cowok, lain lagi. Pernah mencermati bagian belakang iket atau topi tradisional Yogya? Ada bagian yang disebut ”mondholan” atau bulatan sebesar telur. Sebenarnya, mondholan itu imitasi gelung rambut. Dulu, para pria Djokja berambut panjang dan jika lagi beraktivitas, rambut tidak digerai tapi digelung. Jika mereka mengenakan iket atau topi, gelung itu diperlihatkan. Mungkin karena dirasa kurang praktis dan ingin tampil keren seperti Londo, banyak pria memberanikan diri berambut pendek. Agar jika mengenakan iket tetap tampak keren, iket praktis pun diciptakan dengan aksesori gelung imitasi berbentuk mondolan.
Potong cepak atau pronthos selanjutnya lebih populer diantara kaum pria dewasa. Bersamaan dengan trend itu, berrmuncullanlah tukang cukur atau barber dengan peralatan yang lumaya oke. Pisau cukur, hair spray, dan bahkan meja cukur serta kursinya semua imporan. Karenanya, tidak sembarang pria berani pergi ke tukang cukur. Solusinya potong di di tukang cukur ”pithingan,” di bawah pohon beringin seputar alun-alun atau di tepi jalan yang ada pohon rindangnya.
Selain potong pronthos, pada tahun 1964-an, ada gaya Beatle. Seperti namanya, gaya rambut ini menirukan gaya rambut para personil The Beatles. Karena berbarengan dengan revolusi kebudayaan dan pelarangan Wetern culture, gaya rambut Beatle cepat menguap bersama gaya sepatu Beatle, celana Beatle yang ciut di bawah, dan lain-lain yang berbau Amerika dan Barat. Pelarangan itu sangat keras. Mirip-mirip gaya Mao. Sering anak-anak muda dikejar-kejar polisi untuk kemudian pipa celananya disobeki dan rambutnya diperonthosi tanpa ba-bi-bu. Hak azasi? No way!
Hebatnya, pada tahun 1970-an hingga awal 80-an, justru berkembang trend rambut gondrong. Rambut gondrong identik dengan freedom karena gaya itu ditiru dari para personil band-band underground. ”Ngeground dong!” jadi gondrong... Para orang tua bengok-bengok, para guru alok, menentang gaya rambut itu. (lupa ‘kali kalau kakek-kakek mereka berambut panjang dan gelungan). Anak-anak SMA de Britto adalah satu-satunya anak sekolah yang bebas bergaya rambut ini.
”Wah, slebore anyar!” adalah ekspresi umum tempo doeloe untuk mereka yang baru saja potong rambut. Potong rambut kayak istimewa banget. Memang iya. Tahu nggak, orang tua Djokja tempo doeloe jarang membawa anak laki-laki mereka ke tukang cukur. Eman-eman uangnya. Si anak cukup disuruh duduk, kepalanya ditelungkupi tempurung kelapa, dan kres... kress... kress... beres. Keesokan harinya di sekolah dan arena bermain, dia bakal jadi bahan olok-olokan teman-teman, ”Ha... potong bathok!” Keesokan harinya lagi... dia bisa ganti ngeledekin temannya dengan ledekan yang sama. So, no big deal. Meski potong bathok, tetap aja “bagus” kok!
Pengilon atau cermin seperti ini, siapa yang mau beli? Tergantung, ”Kapan”? Sekarang sih, dilirik saja tidak. Bahkan, dianggap barang yang sudah ”almarhum.” Meski, di suatu sudut pasar tradisional Yogya, kita masih bisa menemukannya. Tapi, tunggu dulu. Pada tahun 1960-1975-an, cermin yang beken dengan nama ”pengilon” ini, jadi idola wanita Djokja lho. Pada masa itu, keluarga-keluarga yang cukup berada biasanya memiliki sarana bercermin yang memadai, misalnya meja rias atau cermin pada pintu lemari pakaian. Lain halnya dengan keluarga-keluarga kurang mampu. Bagi mereka, cermin berbentuk persegi yang diberi gantungan atau standard dari kawat seperti tampak pada foto, asyik juga buat ngilo dan memandang wajah sendiri.
Pengilon bisa digantungkan di dinding atau distandarkan di atas meja. Ukurannya pun macam-macam. Ada yang 8 cm x 10 cm, alias kecil. Harganya jelas separo dari yang terlihat di foto, ukuran 20 cm x 25 cm. Relatif murahlah. Dan, pengilon cenderung disayang-sayang. Meski udah pernah jatuh dan sudutnya pecah atau bahkan cuil, si pemilik tetap sayang membuangnya. Setia musti sudah jelek dan karatan bingkainya. ”Buruk rupa, cermin dibelah,” benar-benar nggak berlaku di Djogja. Selain, tentu saja karena alasan belum punya uang buat beli penggantinya.
Cermin yang model ini lebih kuno lagi. Cermin buatan akhir abad ke-19 ini dimiliki oleh wanita dari keluarga kelas menengah yang punya akses ke kraton. Misalnya keluarga yang punya putri keparak atau penari kraton, abdi Dalem, dan yang sering wira-wiri ke raton dan tahu di dalam ada apa. Atau, paling tidak sering bertandang ke ndalem para bangsawan. Jadi tahu, seperti apa saja barang-barang yang mereka punya.
Pengilon ini dimaksudkan sebagai tiruan kaca rias yang biasa dimiliki oleh para putri Sultan. Tapi, jangan berpikir memiliki kaca rias yang sama. Orang ”pidak pedarakan” (rakyat jelata) waktu itu benar-benar tidak berani menyamai barang-barang, meniru gaya, mengenakan pakaian, para junjungan mereka. Takut kuwalat. Meniru modelnya saja, nyerempet-nyerempet coraknya apalagi, sungguh tidak berani. Maka, bisanya Cuma buat miniatur yang dimodifikasi sendiri. Karena punyanya wong cilik, ya sebaiknya kecil wae. Sengaja tidak didisain besar dan pakai dhingklik (kursi kecil tanpa sandaran) seperti pemilik asli. Itu lagi, karena wong ciliki mustinya duduk di bawah, tidak di atas.
Pengilon seperti ini sangat berharga dieranya. Seringkali, bahkan diletakkan di bilik atau senthong. Selain sebagai kaca rias, pengilon model ini juga difungsikan sebagai cermin untuk ritual. Karenanya, letaknya di tempat terhormat dan tidak digunakan untuk sembarang kesempatan.
Pengilon ini merupakan koleksi pribadi seorang wanita yang tinggal di barat Kemandungan Kraton Yogyakarta. Dibuat oleh seorang abdi Dalem undagi Kraton Djokja.Karenanya, sang paman, Raden Riyo Resosetika, memiliki referensi model kaca rias yang ada di dalam kraton dan sengaja membuat miniaturnya untuk mengungkapkan kebahagiaan atas kelahiran keponakan tercinta pada tahun 1899. Abdi Dalem Undagi adalah staf pengukir kraton yang diberi tempat domisili di wilayah Undagi (sekarang Dagen, barat Malioboro).
Geli dan nggak percaya kok ada yang kayak gitu? Sekarang, kemana kita pergi, selalu bawa compact powder di tas. Praktis dan prekis. Heran, sebegitu pendeknya sejarah cermin di kota yang punya kraton ini? Itu mah baru pengilon, kaca rias. Trus, gimana dengan perlengkapan make-upnya?
Siapa tidak kenal Ibu Mooryati Soedibyo, ibu yang bikin gadis-gadis Indonesia tampil anggun dan cantik dengan produknya, Mustika Ratu? Apakah di Djokja juga ada resep-resep istimewa untuk perawatan tubuh dan ramuan kencatikan seperti yahg diwarisi Ibu Moeryati dari kraton Solo? Kayaknya nggak. Kalaupun ada, itu sangat terbatas, mungkin hanya di dalam kraton. Karena, nampaknya Djokja bukan tempat asalnya adibusana dan adisarira.
Wanita Djokja,sejak doeloe, tidak modis dan malah cenderung lugu.Perlengkapan make-up dan perawatan tubuh tidak seberagam yang biasa dimiliki atau digunakan wanita Surakarta. Cukup tiga serangkai: bedak, benges, dan celak. Udah gitu, pakainya hanya pas jagong manten (kondangan manten). Itupun hanya disaputkan tipis-tipis.
Di tahun 70-an, kalau ada seorang wanita mengenakan bedak atau lisptik tebal padahal bukan istri pejabat atau masih keturunan ningrat, dia bakal dijuluki ”Nona/ Nyonya Wilem, ” alias ”dijawil gelem.”
Benges atau lipstick dianggap mewah dan mahal. So, jelas dieman-eman. Pakainya sedikit-dikit, tidak dioleskan tebal-tebal ke bibir. Lipstick cukup didulit pakai ujung kelingking, dan disaputkan tipis-tipis ke bibir. Kuas bibir alami, gitu ceritanya. Dan, satu lipstick dipakai bareng-bareng sekeluarga. Kadang satu tahun nggak habis. Kalau terpaksanya tinggal sedikit, nggak didulat-dulit lagi tapi diculak-culek sampai ke dasar wadahnya.
Wanita Djokja mengenakan make-up tipis-tipis, statusnya hanya untuk memperindah dan membuat lebih ”macak,” bukan untuk mengubah penampilan.Para wanita yang mengenakan make-up tipis-tipis dianggap ”ayu,” cantik luar-dalam karena tidak mengekspose kecantikan badaniah. Sedangkan mereka yang mengenakan make-up tebal dan vulgar, disebut ”kemayu,” atau kenes, atau identik denganwanita murahan.
Bedakanpun nggak perlu pakai foundation. Bisa ketebalan. Nanti dibilang topeng lewat. So, cukup bedak tabur. Merck bedak tabur yang waktu itu populer adalah Marcks. Tapi, tidak semua wanita punya cukup uang bahkan buat membeli satu dos bundar bedak Marcks seperti itu. Banyak wanita berusaha membuat bedak sendiri. Namanya bedak adem, berupa butiran tepung kecil-kecil. Yang makainya musti dicairkan pakai air mawar dulu. Hasilnya, putih kekuningan dan halus. Tapi, kalau pas jerawatan dan pakai bedak dinginnya ketebalan, wuah... wajah bisa jadi kayak kupasan nanas.
Kehadiran bedak Viva dengan kemasan plastik merupakan solusi jitu dan inovatif. Kehadirannya nyaris berbarengan dengan bedak padat. Tapi, kebanyakan orang menganggap Viva lebih praktis dan ekonomis. Nyaris semua ibu rumah tangga Djokja memilih Viva. And toh, bedak padat tetap laku di kalangan yang lebih mapan ekonominya. Akhirnya, compact powder lebih disukai karena mudah dibawa-bawa dan ada cerminnya. Kemasan bedak padat juga menggeser popularitas pengilon atau cermin.