Jengki

Author: Therich Ninung / Label

Tessy, anggota Sri Mulat, menyebut mereka yang AC-DC, cowok sekaligus cewek, “jengki.” Maksudnya pastilah seseorang yang seperti sepeda Jengki, bisa dinaiki laki-laki maupun perempuan. Sebelum tahun enampuluhan, hanya ada dua jenis sepeda. Sepeda onthel laki-laki dan sepeda onthel perempuan. Sepeda laki-laki ada “planthang”- nya, sedangkan sepeda perempuan tidak. Desain bagian depan sepeda perempuan melengkung. Pada paruh terakhir tahun enampuluhan hingga tahun tujuh puluhan, muncullah sepeda yang lebih pendek dan prekis, dengan desain bagian depannya tidak melengkung tetapi lurus. Model sepeda ini oleh masyarakat dianggap netral, bisa untuk laki-laki ataupun perempuan. Itulah sepeda Jengki yang kemudian populer sekali.

Tapi, mengapa selain sepeda Jengki kita juga mengenal rumah jengki, kursi jengki, meja jengki, tempat tidur jengki, dan lain-lain?

Hunting Strategy

Author: Therich Ninung / Label

Ini mah bukan strategi berburu yang dilakukan para sultan Djogdja tempo doeloe. Tapi, sistem berburu buah-buahan yang dilakukan anak-anak orang jelata, manakala di rumah minus pengisi perut. Kalau para sultan dan bangsawan biasa berburu atau istilahnya ”membedak” di wilayah-wilayah kukuban mereka, misalnya di hutan-hutan yang cukup jauh dari kraton, anak-anak rakyat jelata justru sebaliknya. Mereka biasa ”berburu” di wilayah sekitar kraton.



Pernah lihat bangunan ini? Sebuah gardu pandang yang terletak di selatan kraton Yogya, kira-kira satu kilometer dari Plengkung Gading atau alun-alun selatan. Gardu ini konon untuk melihat-lihat gerak-gerik kijang atau buruan lain yang berseliweran di seantero hutan kecil yang menjadi tempat favorit berburu para sultan.


Gardu ini dilengkapi beberapa ruang bawah yang dipergunakan sebagai tempat beristirahat ketika rombongan tiba atau manakala sultan dan rombongan sudah kelelahan berburu. Gardu pandang ini direnovasi dan menjadi salah satu landmark kota Yogya. Letak tepatnya di sebelah selatan Pondok Pesantren Krapyak.


Untuk mencapai tempat itu, sultan musti keluar kraton dan berkereta atau berkuda. Bagaimana pula cara anak-anak berburu buah-buahan di wilayah kraton yang serba terbatasi itu?


Sebelum tahun tujuhpuluhan, wilayah sekitar kraton penuh dengan pohon buah-buahan. Di halaman belakang kraton ada lapangan Kemagangan dan Kemandungan. Area Kemandungan itu ditanami banyak pohon buah-buahan: mangga Sengir dan Manalagi, jambu Dersana, Kepel, Pakel, dan lain-lain. Karena pohon-pohon itu milik kraton, atau istilahnya ”kagungan Dalem,” tentu saja kualitas buahnya serba prima.


Anak-anak sering bermain di area itu. Tapi, meskipun tiap saat melihat buah-buahan matang bergelantungan di pepohonan, mereka tidak berani memetik begitu saja. Karena ”kagungan Dalem” sangat dijunjung tinggi dan orang memang tidak mau sembarangan nekad menyeroboti milik kraton.


Waktu itu aku masih SD dan berpikir-pikir, kalau tidak dipetiki dan akhirnya cuma berjatuhan, lantas apa manfaat buah-buah itu? Sementara, anak-anak pada kekurangan gizi karena kurang makan. Terbersit melakukan sesuatu untuk mendapatkannya. Kamipun berpikir gimana musti memperoleh buah-buahan itu tanpa mencurinya.

Segera kami pulang untuk pinjam tembor (nampan) Mbokde Tirtowerdoyo ( kakak ayah) yang memiliki nampan porselen berpagar perak. Kami juga meminjam kerudung makanan putih berenda dan penuh sulaman bunga-bunga indah milik Budhe. Bermodal dua benda itu, kami berjalan memutar dan sampai ke regol Kemandungan bagian utara.


Sambil berjalan mengendap-endap dan sangat santun, kamipun muncul dari arah kraton dan mendatangi para Abdi Dalem yang duduk-duduk di samping gerbang. Begitu para penjaga itu melihat kami dan nampan yang kami bawa, kontan mereka segera tergopoh-gopoh menghampiri kami seraya merunduk penuh hormat.


”Kak ken nyuwun pelem,” (Disuruh minta mangga) kataku dengan bahasa Jawa sangat halus.

”Sendika,” jawab salah satu dari mereka. Maksudnya, ”Siap melayani kehendak Paduka...” Kamipun disuruh duduk manis dan menunggu. Tidak lama kemudian, enam mangga matang pun ditata dengan penuh khidmat di nampan dan ditutupi kerudung makanan berenda itu. Sambil menyembah (tanda hormat), Abdi Dalem itu mengulurkan nampan itu pada kami. Di dekatnya ada dua mangga yang tidak diikutkan. Sambil menunjuk ke dua mangga itu dia berkata, ”Pun aturken, ingkang menika kula suwun...” (Tolong sampaikan, yang ini kami minta)

Kamipun mengangguk dan berbalik memasuki regol Kemandungan dan berjalan ke utara menuju kraton. Tentu saja kami tidak menuju gerbang kraton sebagaimana mungkin mereka bayangkan, tapi langsung berbelok ke kiri... pulang.


Enam mangga itu kami nikmati berlima belas. Duh... lezatnya, sungguh tak terlupakan.

Selain di halaman Kemandungan, area berburu lainnya justru di dalam halaman kraton. Terutama, di bagian barat atau Kraton Kulon. Tapi, tidak semua anak bisa masuk ke sana tanpa akses khusus. Untuk mendapatkan akses khusus masuk ke sana, kami merayu Bude yang pernah menjadi Carik (Sekretaris) di keputren kraton untuk marak (mengunjungi) para istri Sultan Hamengku Buwono IX. Bude sangat senang karena sebenarnya beliau punya kerinduan dan nostalgia tersendiri dengan kraton. Lagi pula, para istri Sultan juga sangat ramah dan senang dikunjungi.


Biasanya, kami akan diajak ”marak” terlebih dulu, ”kulo nuwun” serta mengunjukkan hormat- bakti sambil berbincang-bincang sejenak. Para garwa Dalem sangat ramah pada anak-anak juga. Kamipun lantas diberi keleluasaan bermain, asalkan tidak ”begajigan” atau urakan. Sementara, Bude melanjutkan cengkerama.


Kesempatan itulah yang kami tunggu-tunggu. Tanpa babibu, kamipun langsung menuju ke halaman bagian belakang yang penuh pohon buah-buahan. Bisa ditebak... selanjutnya kami pun dengan gembira memunguti buah-buah yang jatuh. Jambu, mangga, sawo, belimbing bintang, dan lain-lain.


Enak, praktis, bisa langsung dikonsumsi, dan available di mana-mana, buah-buahan jadi alternatif dan incaran penganjal perut kosong. Pengalaman berburu buah-buahan begitu heroik, meski di sana-sini penuh dengan kriminalitas ala anak-anak.


Waktu itu musim duku. Duku termasuk buah yang elit dan tak terjangkau bagiku. Karenanya, membayangkan seperti apa manisnya buah duku sangat sulit. Aku cuma sering melihat bagaimana tetanggaku yang pada waktu itu tergolong kaya, asyik ngemil duku.


Siang itu duku-duku kuning tampak bertimbun di tambir (nampan bambu) di atas tenggok beberapa penjual pasar Ngasem, pasar tradisional yang terletak di barat Kraton Yogya dan saat ini populer sebagai pasar burung. Kebetulan aku diajak kakak sepupu belanja bahan kue Putri Ambon di warung Bu Jariyah. Karena antri banyak, untuk mengalihkan kebosanan iseng-iseng kugoda lebah-lebah madu yang merubung tumpukan gula Jawa. Seketika, terbersit ide mendapatkan duku-duku manis dengan gratis.


Segera aku pamit pada kakak sepupuku. ”Ya, tapi jangan ninggal pulang lho,” pesannya. Dia selalu minta kutemani kemanapun pergi karena menurut dia, pergi sendirian kayak aneh, tidak pantas baik seorang gadis priyayi. Akupun janji akan kembali ke warung itu lagi.


Penjual nangka jadi tujuan utamaku. Di sana, diantara kerumunan pembeli gori, kudulit getah nangka muda dengan lidi sapu yang kudapat dari penjual sapu dan keset di dekatnya. Segera aku kembali ke warung Bu Jar dan menemui kakakku.

”Ada apa, kok senyum-senyum?” tanyanya curiga.

Segera kutempelkan lidi bergetah nangka ke seekor tawon gula. Dapat!

”Buat apa, he... kasihan, jangan nyiksa binatang,” bisik Mbak Asih.

”Bentar kok,” jawabku lirih.

Begitu dia selesai membeli gandum dan bubuk coklat cap Merak, segera kuajak dia keliling pasar.

”Ngapain, capaek-capaek...,” katanya.

”Ssst... nyari anjing yang tadi...”

”Ah, anjing budukan... Lha itu dia, mau kamu apakan sih? Jangan neko-neko!” Kakakku, yang hafal dengan ulah-ulahku selama ini, mengingatkan dengan was-was.

”Yuk kita giring anjing itu ke sana...,” ajakku. Kamipun mendecak-decakkan lidah sambil mengajak anjing itu mengikuti kami. Begitu dekat dengan penjual duku, akupun beralih ke belakang si anjing. Dengan sigap kutempelkan tawon gula ke dubur anjing itu. Kontan anjing itu melonjak disengat si lebah madu. Saking kaget dan mungkin sakit oleh sengatan itu, dia berlari nubras-nubras dan menabrak tenggok penjual duku. Isi tambirpun numplak tanpa bisa dicegah. Bergelindinganlah duku-duku kuning ke segala arah.


Cepat-cepat kami punguti duku-duku itu sebelum diinjak-injak orang. Lalu, kami letakkan kembali ke tambir si penjual..

”Anjing kurang ajar...” teriak penjual itu. ”Makasih ya, Nok...”

Kamipun beranjak dari tempat itu, pelan-pelan dan penuh harap.

”Eh... sini dulu, Nok... Ini, sedikit buat kalian...” Penjual duku itu tiba-tiba sudah berada di belakang kami.

”Ah, nggak usahlah... ”

”Eh, nggak papa ... Nih...makasih...” desaknya seraya membuka telapak tanganku dan menggenggamkan seconthong daun jati berisi duku.

”Makasih,” kataku pura-pura ragu-ragu.

Kamipun berjalan menyusuri gang-gang kampung.”Duku... duku...manis tenan,” kataku sambil menelan duku pertama dalam hidupku.

”Kapok aku ngajak kamu ke pasar... ” kata kakakku yang rupa-rupanya sama sekali tidak mau menyentuh duku di tanganku.. ”Eh, minta ya...,” sambungnya tiba-tiba sambil tertawa geli dan memungut satu butir..

Beda banget dengan kokosan yang bikin orang mengerdipkan sebelah mata...


Bariyah, teman main yang sepantaran denganku, suatu siang menghampiriku diwarung Yu Rejo. Wajahnya pucat kebiruan. Dia tersenyum dan berkata, ”Mau cari mangga nggak? Aku pengen ikut...” katanya seperti memohon. Kutatap matanya yang redup. Timbul rasa iba di hatiku. Bariyah sering ditinggalkan teman-teman karena dia tidak bisa lari cepat. Dia tidak pernah diajak main dan selalu cuma duduk-duduk di pinggir arena permainan.

” Di Sasono Hinggiel banyak...” tambahnya.

”Kok tahu, Bar?”

“Aku udah lihat... Ya? Aku diajak,” katanya nyaris berbisik.

Kamipun segera mengambil genter (tongkat panjang) dan menuju Sasono Hinggiel, bagian belakang Kraton yang sering digunakan untuk pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Betul juga, di halaman belakang gedung itu ada satu pohon mangga yang buahnya sangat lebat. Tapi, ternyata genter kami tidak mungkin menjangkau buah-buah itu.

”Gimana manjatnya, pohonnnya sebesar ini? ” kakak sepupuku yang juga ikut, jadi ragu.

”Bentar, aku minta ijin Mbok Bon dulu...” Akupun segera ke rumah penunggu Sasono Hinggiel. Sambil tertawa, Mbok Bon itu memberi ijin.

”Ambil sesuka kalian kalau bisa...” serunya.

Akupun segera melapor pada teman-teman. ”Boleh... boleh...” Mata Bariyah berbinar-binar. Masalahnya, bagaimana bisa melewati pokok pohon yang besarnya dua rangkulan tanganku dan mencapai cabang pertama. Selanjutnya, bakal mudah melembar ke cabang-cabang lainnya.

”Eh... pakai pelepah pisang itu aja!” seruku gembira melihat sebuah solusi. Tidak lama kemudian aku sudah nagkring di atas dua pelepah pisang yang kami sandarkan di batang pohon.

”Ini bekas untuk mandiin orang mati...” kata kakakku ketakutan.

”Ah, nggak papa. Sundul aja pantatku pakai kepala kalian...”

”Bisa...” seruku sambil berdiri di cabang yang kuinginkan.

Mbak Asih dan Bariyahpun dengan penuh semangat memunguti mangga-mangga yang kujatuhkan.

Dua hari kemudian...

”Bariyah meninggal, barusan...” teriak Umi ketika kami berhamburan keluar rumah karena mendengar suara kentong tanda kematian. Tubuhku gemetar. Akupun lari ke rumahnya. Harapanku, Bariyah belum dikafani. Aku ingin melihatnya untuk terakhir kali.


Sesampai di rumah Bariyah, sebuah pondok bambu kecil yang mepet tembok Kemagangan, kulihat tubuh kaku dan biru temanku itu dibaringkan di dipan. ”Bar...” teriakku menahan tangis. Ayahnya, Pak Joyo, tampak tersedu-sedu. Dia menoleh padaku.


”Sebelum meninggal... Bariyah... Bariyah... senyum, ” bisik Pak Joyo terbata-bata.”Dia ... dia senang... diajak... cari mangga... Terimakasih, Den. ” Kugenggam tangan Bariyah yang kaku dan biru. ”Kita dapat banyak ya, Bar?!” bisikku sambil tersenyum.

Dagadu

Author: Therich Ninung / Label

Dagadu, brand kaos yang telah menghidupi Yogya. Pemiliknya yang generous, benar-benar pahlawan perekonomian yang ikut mengentaskan puluhan ribu warga Yogya karena merelakan brand T-Shirt-nya itu untuk publik. Banyak orang Yogya ikut ”makan” lewat kaos-kaos yang mereka produksi atau jual dengan merk DAGADU.

Kalau anda datang ke Yogya dan ke Malioboro dan pasar Beringharjo, tidak mungkin tidak bertemu kaos Dagadu. Bahkan, mungkin anda dititipi teman-teman untuk membawa oleh-oleh kaos itu. Lalu, anda akan diantar para tukang becak ke wilayah Ngasem, ke sentra Dagadu. Meski, anda yang benar-benar memikirkan kualitas, akan tahu bahwa the original Dagadu ada di Malioboro Mall dan di rumah Dagadu sendiri, di Jl. Poncowinatan.

”Dagadu” itu bahasa mana, dan artinya apa sih? Mungkin anda pernah tergelitik untuk mengetahui. ”Dagadu” itu bahasa anak muda Yogya tahun tujuh lima hingga delapanpuluhan. Sebuah umpatan yang artinya ”matamu.” Bahasa Jawa versi Dagadu itu diciptakan oleh seseorang, entah siapa dia, dari mengutak-utik tulisan Jawa. Akhirnya bahasa itu populer di kalangan mahasiswa dan anak-anak SMA.

Dulu kami sekelas, II IPS 2 di SMA I (tahun 1979), menggunakan bahasa gaul ini. Sekelas menggunakannya, terutama kalau pas ulangan.

”Hire, pinyi?”
”Poya lesgi.”
”Panyu poya piba...”

”Piye, iki?” (Gimana nih?)
” Ora ngerti.” (Nggak tahu.)
”Aku ora isa...” (Aku nggak bisa.)

Bahkan, anak muda waktu itu bisa menggunakannya dengan lancar untuk pembicaraan sehari-hari antar teman. Biasanya yang sering menggunakan bahasa seperti itu anak-anak laki-laki. Anak-anak perempuan hanya segelintir yang bisa. Karena, kesannya agak nyerempet preman, gitu. Tapi, di kelas kami, nggak hanya anak laki-laki yang bisa. Nyaris semua sering menggunakan bahasa ciptaan sendiri itu.

Rumusnya sebenarnya mudah. Hanya mengurutkan bunyi abjad Jawa dan memakai bunyi yang ada di atas atau di bawah bunyi yang kita inginkan.

a. ha na ca ra ka
b. da ta sa wa la
c. pa dha ja ya nya
d. ma ga ba tha nga

Tiap kali mengucapkan kata yang ada unsur bunyi dari kelompok a, misalnya ka, maka yang diucapkan bukan ka itu sendiri tapi bunyi di bawahnya (dari kelompok b), yaitu na. Maka kalau mau bilang “karo sapa” (dengan siapa), yang diucapkan ”nawo cama”:

ka jadi na
ro jadi wo
sa jadi ca
pa jadi ma


Karena sering menggunakan, lama-lama jadi faseh beneran. Mereka yang berasal dari jaman itu hingga kini masih sering menggunakan, khususnya untuk membicarakan hal-hal pribadi atau buat sekedar bernostalgia. Kepiawiaian menggunakan bahasa gaul model Dagadu ini ternyata juga merupakan ketrampilan berbahasa tersendiri. Mereka yang ”tell me more” alias telat mikir alias ”lola,” bakal sulit atau kepontal-pontal menggunakannya.

Sebelum era tujuhpuluh-delapanpuluhan, ada model lain penggunaan bahasa serupa. Rumusnya kurang tahu, kayaknya lebih rumit. Ketika saya belum sekolah, saya sering dengar kakak-kakak sepupu berbicara menggunakan bahasa gaul itu. Seingat saya, kalau memanggil ”Mas” bukan ”mas” tapi ”kas.” Gimana menyusunnya, kurang tahu. Mungkin ada pembaca yang tahu versi ini atau berasal dari generasi ini bisa memberi info.

Waktu itu panggilan saya jadi “Pidhul.”

Rayahan

Author: Therich Ninung / Label

Rayahan alias berebut sesuatu yang dilempar atau dijatuhkan benar-benar khas tempo doeloe. Tidak mengherankan, hingga sekarang action yang namanya ”ngrayah,” dan kemudian berkembang menjadi menjarah, sulit diatasi. Karena saking telanjur mendarah daging.

Bagaimana tidak mendarah daging, menjadi kebiasaan, ciri wanci. Banyak sekali pendidikan rayahan dikenyam oleh masyarakat Jawa. Yang saya ketahui, di Yogya. Misalnya, ritual nyebar udik-udik yang dilakukan oleh Sultan sebagai simbol sedekah kepada rakyat jelata. Karena keping-keping uang itu dilemparkan ke hadapan mereka, otomatis para kawula mengambilinya dengan merayah. Demi ”ngalap berkah” mereka rela berdesak-desakan dan adu kepala dengan sesama perayah.

Intensitas rayahan semakin meningkat karena selain nyebar udik-udik, ada hajad Dalem lain yang juga memberi kesempatan rakyat jelata rayahan. Yaitu ketika ada Garebeg. Padahal, dalam satu tahun ada beberapa Garebeg. Pada tiap garebeg, Sultan selalu membuat Gunungan yang berisi hasil bumi atau makanan. Dari nasi, ketan, sayur-mayur, lauk-pauk (kerupuk) yang dibentuk sebagai gunungan. Gunungan barangkali merupakan simbol rasa syukur atas kemakmuran yang dianugerahkan Tuhan dan niat berbagai rejeki pada rakyat. Begitu sampai di Masjid Gede, gunungan akan ditumplak dan rakyat diberi kesempatan merayahnya. Rayahan pun terjadilah. Seringkali ada yang sampai pingsan dalam rayahan itu.

Di suatu Garebeg tahun 1971, ketika kelas empat SD, saya ikut merayah gunungan. Karena tubuh saya kecil, dengan mudah bisa menelusup diantara orang-orang yang berdesakan dan bertumpukan di atas gunungan yang ditumplak di halaman belakang Masjid Gede. Saya berhasil menggeret dua lempeng (kerupuk) warna-warni dan membetot dua telur. Rasanya senang sekali. Tapi, ketika saya keluar dengan susah payah dari tumpukan orang, ada yang nyerobot kerupuk saya tanpa bisa saya cegah. Akhirnya, saya pulang hanya membawa satu kerupuk dan dua telur. Tubuh saya basah kena keringat orang-orang.

Sampai di rumah, dengan bangga saya tunjukan hasil rayahan gunungan itu pada ayah. Maksud saya, agar dipasang di senthong tengah atau atas pintu seperti yang dilakukan oleh para tetangga. Tapi, ayah saya malah menyuruh saya duduk dan mengingatkan agar tidak ikut rayahan apapun lagi. Berbahaya, bisa ”pendeng” alias gepeng terinjak-injak, atau tergencet perayah lain. Apalagi tubuh saya kecil, imut-imut.

Yang lebih ditegaskan ayah, rayahan itu tidak terhormat. Kalau menginginkan sesuatu mustinya berjuang mendapatkannya melalui proses yang baik. Bukan dengan mengambil yang ”diuncalkan” atau dilemparkan oleh pihak lain atau yang potensial jatuh ke hadapan kita.
”Kenapa dibilang ngalap berkah?” tanya saya waktu itu. Ayah dengan mantap menjawab, ada berkah yang lebih besar dari Tuhan ketika kita berusaha keras mendapatkan sesuatu dengan cara terhormat dan tanpa menginjak-injak harga diri. Waktu itu saya belum begitu paham perkataan ayah karena dia tidak menggunakan bahasa yang sesuai untuk anak-anak.

Ada rayahan lain yang populer di kalangan anak-anak. Yaitu rayahan layangan putus. Ketika adu layang-layang dan salah satu putus benang alias kalah, maka layang-layang dan benang itu dianggap menjadi milik publik. Siapa yang bisa mendapatkannya boleh memilikinya. Terjadilah rebutan mendapatkan layang-layang yang melayang kleyangan dibawa angin.. Anak-anak akan kontan berlarian mengejar si layang-layang putus. Bagaikan kalap, mereka menerabas apapun, naik atap rumah orang, menyeberang jalan, tanpa menghiraukan bahaya yang bisa terjadi. Ketika layang-layang akhirnya semakin merendah dan terjangkau tangan anak-anak, terjadilah rayahan itu. Ada lagunya, ”Ayo dha rayahan... rayahan... suwek-suwekan...” ”Mari berebut, rayahan... sobek-sobekan...” Karena maunya dia yang dapet tapi tidak bisa, anak nakal akan menyanyikan lagu itu dan artinya sah-sah saja menyobek-nyobek layang-layang yang bahkan sudah berada di tangan anak lain. Maksudnya, agar tak satupun memiliki layang-layang itu.

Seperti juga actionnya, kata ”rayahan” akhirnya berkonotasi negatif. Orang yang suka merayah sesuatu, dianggap kurang bermartabat. Model rayahan yang lebih parah adalah menjarah. Menjarah milik rakyat, milik publik, atau milik orang lain, milik pihak yang dianggap musuh, sama tidak bermartabatnya dengan merayah.

Tapi, itulah yang sejak Reformasi semakin membudaya. Sekarang banyak orang menjadi penguasa baru. Penguasa trotoar, halaman rumah orang, jalan-jalan di sekitar pasar, perempatan jalan, dan wilayah-wilayah milik publik. Tanpa wigah-wigih orang merayah dan menjarah hak-hak dan privacy orang lain dalam berbagai bentuk dan versi. Kayak dijaman Revolusi Perancis saja.

Tragedi Pasuruan Lebaran yang silam, masalah Sultan’s grounds dan area PJKA, palak-memalak, ekonomi biaya tinggi yang membuat para investor boyongan ke negara lain, merupakan efek rayahan oleh massa.

Benar-benar hasil pelajaran tempo doeloe yang berhasil jadi PR bikin mumet untuk masa kini.

Terror

Author: Therich Ninung / Label


Terror tidak harus berkaitan dengan para teroris yang diduga bakal meledakkan bom. Sesuatu yang mencekam dan membuat trauma dan ketakutan yang berkepanjangan, bisa saja disebut teror. Begitu pula usaha menakut-nakuti seseorang. Ini sih, definisi pribadi, bukan definisi ilmiah dari kacamata psikologi atau semacamnya.

Teror tidak pula musti berasal dari para separatis atau mereka yang punya misi jihad. Teror bahkan bisa ditebarkan oleh orang tua sendiri. Hi, ngeri. Mana ada teror seperti itu? Ada. Terlebih, tempo doeloe. Tepatnya, sebelum tahun delapanpuluhan, ketika ortu belum begitu well-informed tentang perkembangan jiwa anak. Teror by ortu tentu saja bukan teror yang deadly, mematikan. And toh, tetap berbahaya karena bisa saja mematikan keberanian anak atau setidaknya menghambat anak tumbuh menjadi pribadi yang mentally sehat atau normal.

Teror kecil-kecilan yang dilakukan ortu jaman dulu beragam. Alasannya pun beda-beda. Ada yang sengaja untuk menakut-nakuti agar anak patuh dan tidak nakal, ada yang sekedar ledekan untuk menggoda si kecil. Contohnya, teror tentang ayah. Para ayah yang kebetulan priyayi atau terhormat di masyarakat seringkali jadi figur yang menakutkan anak-anak, bahkan anak-anak mereka sendiri. Ibulah yang justru sering menteror anak dengan mengatakan, ”Awas.. bapak pulang.” Atau, ketika cari jalan pintas menangani anak yang ngrepoti aktivitas mereka, para ibu sering mengancam, ”Lihat nanti kalau bapak datang, tak bilangin.” Para ibu Yogya sering berkata, ”Mengko tak aturke bapak!”

Bapak. Begitu dengar sebutan itu, anak langsung merasa ngeri. Di benak mereka, bapak adalah sosok yang bakal memarahi, yang galak, yang serem. Banyak anak tidak berani duduk berhadapan dengan ayah mereka. Kalau sampai dipanggil ayah, artinya akan didukani, dimarahi. Diadili berdasar laporan ibu. Boro-boro ngobrol. Begitu ayahnya datang, anak akan langsung menghilang dari peredaran, main bersama anak-anak lain. Pada jaman itu, seorang ayah sering dianggap momok oleh anaknya sendiri.

Teror kecil-kecilan yang acap kali diucapkan seorang ibu sering membuat anak tercekam dan sangat ketakutan bahkan pada ayahnya sendiri. Meskipun fakta menunjukkan si ayah baik dan sayang padanya, anak tetap merasa itu suatu bonus, bukan sikap yang sebenarnya. Begitulah para ibu tempo doeloe, seringkali membiaskan ketakutan dan rasa inferiornya sendiri pada suami.

Teror kecil-kecilan dalam aneka bentuk sering digunakan untuk menakut-nakuti anak-anak agar mereka patuh, tidak rewel, tidak nakal, dan duduk manis tidak ngrepoti. Atau, sekedar untuk menggoda atau ngledekin anak. Ortu sering tidak sadar, yang dilakukannya berefek teror pada anak. Apalagi jika anak itu masih berusia di bawah empat tahun dan kelewat imajinatif.

Sampai sekarang, saya benci pada kambing. Padahal, belum pernah diapa-apakan kambing. Hanya saja, saya selalu merasa tidak happy tiap kali ibu saya mengatakan bahwa saya sebenarnya bukan anaknya melainkan anak wedhus (kambing) Pak Joyo, tetangga kami. Pak Joyo sering menggembalakan kambingnya ke alun-alun yang waktu itu banyak ditumbuhi rumput. Kambing Pak Joyo kumal-kumal, pantatnya ngetepol, dan suaranya”Mbeek... mbek...” Jelek sekali menurut telinga anak kecil. Tiap kali dengar kambing-kambing itu lewat depan rumah, saya selalu sembunyi di kamar mandi atau di bawah dipan. Apalagi kalau mereka berjubelan karena berebut menerobos pagar teh-tehan depan rumah dan memakan tanaman-tanaman yang ada. Biasanya ibu akan berteriak, ”Tuh kamu dijemput... mau diajak pulang... .” Saya ketakutan sekali karena ibu juga pernah berkata bahwa salah satu kambing yang gemuk itu adalah ibu saya yang sebenarnya.

”Lha kok aku di sini?” tanya saya tidak percaya.

“Ibu kasihan aja, maka tak bawa ke sini, tak jadikan anakku. Tuh dia lihat kamu terus...” Sejak itu tiap ada kambing lewat atau lihat kambing, saya selalu ketakutan. Lama-lama jadi takut pada kambing beneran. Bahkan sampai sekarang, nggak suka sama kambing. Kecuali kalau sudah jadi gule.

Gurupun juga sering menteror. Sebutan guru killer populer sekitar tahun delapanpuluhan. Guru killer, guru yang galak dan suka ”ngecing.” Tapi sebelum era itu, banyak guru jauh lebih menyeramkan. Senjata mereka bukan cuma ancamannya tapi juga penghapus, penggaris besar, kapur. KDK... Kekerasan Dalam Kelas tidak jarang terjadi. Alias sering. Bukan bullying oleh teman tapi oleh guru. Kalau ada anak ngobrol atau menga-mengo sedikit saja, langsung dilempar penghapus kepalanya. Atau, guru akan mendekat dan siap menjewer kuping siswa. Perlakuan tidak adil dan pilih kasih kerap dijumpai. Anak-anak dari keluarga yang sangat miskin, anak PRT, dan anak-anak yang memang bandel sering diperlakukan dengan ”istimewa” buruknya oleh guru. Digebuk pakai penggaris besar ketika gagal mengerjakan soal di depan kelas, bukan hal aneh.

Doeloe, teror-teror seperti itu banyak sekali dan ortu tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau anak pulang sekolah menceritakan perlakuan guru, dia justru akan dimarahi orang tuanya karena dianggap dia sendirilah yang bersalah. Akibatnya, banyak anak cabut dari sekolah dan drop out. Lain banget dengan sekarang, guru tidak berani main kayu pada anak. Ortu bisa menuntut.

Ada saudara saya yang seumur hidup tidak berani menemui tamu dan selalu takut pada orang lain karena trauma digebuk guru dan dikata-katai. Dia jadi super inferior dan menarik diri dari pergaulan karena menganggap semua orang jahat. Ketika diperlakukan tidak manusiawi oleh gurunya, dia tengah peka-pekanya karena baru saja ditinggal ibunya menghadap Tuhan. Guru itu tentu saja tidak pernah tahu akibat dari perlakukannya itu.

Ada lagi teror lain yang juga umum di masyarakat. Teror tentang hantu. Agar anak-anak tidak keluyuran di malam hari, begitu Maghrib menjelang, orang tua segera memanggil anak-anak masuk rumah. ”Pulang, nanti ada Candik Ala.” Tanpa penjelasan itu makhluk apa dan seperti apa, ortu begitu saja menakut-nakuti anak-anak Bahkan, sering dengan ancaman yang seram, ”Pulang, sudah malam, nanti digondol Wewe Gombel lho...” Atau, ”Ayo makan, lihat tuh kalau nggak mau... ada putih-putih di sana...”

Bayangkan saja. Dimasa listrik belum ada dan lingkungan masih rungkut pepohonan dan semak, teror ortu seperti itu membuat anak-anak benar-benar ketakutan. Akibatnya, anak jadi penakut. Ke kamar mandi saja minta diantar. Sudah gitu, karena malas ngantar, orang tua jadi marah-marah karena anaknya penakut berat. Lupa kalau mereka sendirilah yang membentuk jadi seperti itu.

Cara untuk mencegah anak-anak main terlalu jauh dari rumah yang sangat populer pada tahun tujuhpuluhan adalah isu penculik. Montor abang atau mobil merah atau truk bertutup terpal dengan ”cap gunting-gunting peso” benar-benar efektif untuk menakut-nakuti anak-anak agar tidak main jauh dari rumah. Cerita yang ditebarkan, keduanya adalah ”Duyung,” penculik anak-anak kecil. Anak-anak akan ditangkapi dan dimasukkan ke mobil merah atau truk bergambar ”Cap gunting- gunting peso.” Kalau sudah tertangkap, anak-anak akan dijadikan tumbal pesugihan. Kedua matanya akan dicungkil, dibuat cendol dawet untuk disajikan di perempatan jalan raya atau jembatan. Anak-anak kecil takut setengah mati pada yang namanya ’duyung’ itu.

Suatu hari, saya dan teman-teman bermain di alun-alun selatan. Waktu itu di tengah alun-alun ada taman lalu lintas, arena bermain anak-anak. Pada sore hari atau hari libur, arena itu dibuka untuk umum. Anak-anak bisa naik sepeda roda tiga atau roda dua yang kecil. Ibu-ibu juga membawa anak-anak mereka yang sedang belajar berjalan ke situ.Tapi karena terbengkelai, taman lalu lintas jadi tidak terawat dan tampak seram. Kalau malam untuk tidur gelandangan. Karenanya, anak-anak tidak boleh main ke situ lagi.

Suatu siang, saya dan teman-teman memanjat pohon untuk memetiki buah Pedang-pedangan karena mau pentas ketoprak-ketoprakan. Tiba-tiba ada mobil merah muncul dari arah barat. Kontan kami bergegas turun. Saking paniknya, kami begitu saja melorot hingga dada kami terbarut-barut batang pohon. Merasa paling besar di antara teman-teman, cepat-cepat saya menyuruh Ika, Darbo, Umi, Putik, Yanto, masuk ke bawah jembatan kecil di arena itu. ”Montor duyung... Montor duyung!” Hampir satu jam kami sembunyi di parit dan menginjak kecebong, berudu katak, dan air kotor di parit itu. Gara-gara takut diculik mobil merah yang berputar-putar mengitari alun-alun mencari anak-anak kecil....

Montor duyung itu akhirnya pergi dan kami pulang dengan ketakutan. Tentu saja kami tidak berani menceritakan kejadian itu pada ortu karena tahu cuma bakal dimarahi karena main jauh dari rumah.

(Setelah kelas tiga SD kami baru tahu mobil merah itu mobil VW kodok milik sebuah kursusan setir mobil)

Teror yang juga sering dilontarkan pada anak-anak adalah kalau nelan biji buah-buahan. Pernah saya tanpa sengaja menelan biji buah Duwet. Kakak sepupu saya langsung menakut-nakuti, ”Dua hari lagi bakal tumbuh di kepalamu... lihat aja sendiri!”

”Iya po?” Kakak tampak serius mengiyakan. Dia tidak pernah tahu bagaimana semalaman saya tidak bisa tidur gara-gara tiap kali meraba-raba kepala. Ketika siangnya buang air besar, segera ”si itu” saya korek-korek pakai lidi bambu. Syukurlah, biji itu ada di situ...

Itu sih kebetulan saja. Bayangkan kalau ternyata sudah hancur tercerna, apa saya tidak akan ketakutan berhari-hari karena was-was si biji benar-benar thukul?

Maunya bercanda atau menggoda, orang tua atau orang dewasa sering tanpa sadar menteror anak-anak.

Yah, maklumlah. Jaman doeloe kan belum ada majalah seperti Ayah Bunda atau tabloid Nakita, atau buku-buku perkembangan kepribadian seperti sekarang.

Are You Thuyul?

Author: Therich Ninung / Label


Mencari buah-buahan jatuh adalah agenda pagi anak-anak tempo doeloe. Orang tua tidak punya anggaran menyediakan buah-buahan. Kalau sekarang kulkas penuh buah dan jus namun jarang disentuh, dulu untuk sekedar makan jambu, anak-anak harus berburu dipagi-pagi buta. Halaman rumah tetangga yang punya pohon menjadi area perburuan itu.

Di wilayah kami, tepatnya di sebelah rumah, ada rumah bangsawan yang berhalaman luas dan ditumbuhi pohon-pohon besar. Pohon buahan-buahan yang berkualitas prima. Maklum, pemiliknya adalah Gusti Bei (Gusti Pangeran Hangabehi), paman Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Dalem itu namanya Dalem Ngabean. Letaknya di sebelah barat alun-alun selatan, di kampung Ngadisuryan. Karena sekarang sudah berganti pemilik, namanya ganti.


Dalem Ngabean benar-benar tempat perburuan buah-buahan yang jadi idola anak-anak sekitar. Pohon jambu hijau semburat merah di sisi timur dekat dengan rumah induk, pohon-pohon sawo kecik yang kokoh dan anggun, pohon mangga manalagi dan sengir, pohon belimbing wuluh, bahkan pohon Kantil, merupakan sumber kegembiraan anak-anak.

Tiap pagi, banyak buah berjatuhan. Kami biasa mengambilinya: mangga atau jambu bekas gigitan codot, buah sawo kecik, belimbing wuluh yang kecut, dan lain-lain. Begitu dapat, langsung kami bawa pulang untuk dicuci bersih (kalau tidak malah dilap begitu saja pakai baju). Itulah salah satu menu harian kami. Kami tidak mau memanjat dan memetik sendiri buah-buahan itu, meski mungkin diijinkan, karena meski masih anak-anak, kami sangat menghormati Gusti Bei yang berwibawa dan murah hati itu.

Suatu hari, karena takut keduluan anak-anak yang lebih besar dan nekad, saya sengaja berangkat pagi-pagi buta. Saya merasa harus berangkat mendahului anak-anak lain karena khawatir tidak kebagian. Pasalnya sebelum tidur bapak sudah mengisyaratkan bahwa besok pagi bakal tidak ada enthog-enthog, jajanan tradisional buatan penjual dari desa yang biasa kami jadikan sarapan. Bapak lagi tidak punya duit untuk membelinya. Karenanya, saya harus bisa mendapatkan entah jambu atau sawo agar ada pengisi perut. Apalagi hari itu ada pelajaran olah raga (dulu namanya PD, singkatan Pendidikan Djasmani). Kalau lapar bisa berabe, semaput.

Dengan sigap saya membuka pintu belakang dan lari ke halaman Ndalem Ngabean. Sampai di sana sangat senang karena belum ada anak lain. Langsung saja saya menuju bawah pohon jambu hijau favorit saya. Jambu air berwarna hijau dan kalau masak semburat warna merah itu sangat segar dan manis. Rasanya khas. Di wilayah kecamatan Kraton, hanya ada tiga rumah yang memiliki pohon itu. (hasil survei anak-anak). Tapi yang ada di Ndalem Ngabean jauh lebih lezat. Waktu itu, saya sampai excited mendapati banyak jambu hijau berjatuhan. Langsung saja saya ambili dan taruh di bagian depan rok. Begitulah cara anak-abnak membawa buah-buahan. Jadi, nggak pakai wadah.

Dengan gembira saya lari pulang. Tiba-tiba, sebelum keluar dari halaman Ndalem Ngabean itu, ada lampu senter diarahkan pada saya.

”Kamu thuyul bukan? Katakan, thuyul bukan?” Seorang bapak menyapa saya dengan suara gemetar.

”Saya....Saya... anaknya Pak Pandam,” jawab saya seraya menyebut nama bapak. Karena dia tidak bakal mengenal nama saya. Lagian, takut dikira maling.

”Syukur... tak kira ki thuyul. Kok jam dua sudah cari jambu...” kata bapak itu sambil tersenyum.

”Hah... baru jam dua?” balas saya, ganti ketakutan.

”Pak... saya diantar pulang, ya... takut...”

Pak Gondopun akhirnya mengantar saya pulang sambil senyum-senyum.

”Ditutup lagi ya, pintunya...” kata beliau begitu saya masuk halaman dan mengucapkan terimakasih.

Malam itu saya memejamkan mata dengan lega. Malam yang tidak memerlukan mimpi indah...

YANGDRIM

Author: Therich Ninung / Label

Yangdrim penjual kembang gula cicak warna-warni yang sangat disukai anak-anak tempo doeloe. Dulu saya kira Yangdrim tuh nama pemilik warung, seorang ibu tua yang pendengarannya sudah sangat berkurang. Saya kira “Drim” artinya tuli. Habis, kalau beli di situ harus teriak-teriak dulu. Ternyata, dari kakak sepupu saya, Mas Yoyok, saya dapat info, nama itu julukan saja buat warung itu. Pasalnya, mahasiswa yang mondok (kost) di situ sering menyanyikan lagu favorit, yang salah satu syairnya berbunyi “young dream.” Kalau tidak salah, dari lagu Cliff Richard yang berjudul “Young One.” Karena orang lewat sering mendengar ”yangdrim... yangdrim” dari rumah itu, warung itu lantas dijuluki warung Yangdrim.

Begitulah era tujuhpuluhan, masa-masa awal pemerintahan Orde Baru. Everybody sang songs. Orang begitu enjoy menyanyi. Menyanyi keras-keras, menyanyi di kamar mandi, asyik-asyik aja. Tidak peduli segembreng atau sesomber apa suaranya, orang pede saja menyanyi. Pas banget dengan ajakan The Carpenters lewat lagunya “Sing,” ”Don’t worry that it isn’t good enough for anyone else to hear, just sing, sing a song.” Sepertinya, pumpung menyanyi tidak dilarang.

Edan, po, nyanyi aja kok dilarang-larang?! Mana ada? Begitu barangkali anda bertanya. Eh, jangan keliru. Pernah ada dalam sejarah kita, lho, pelarangan menyanyi. Meski bagi saya sendiri yang waktu itu masih kecil, capet-capet alias nggak terlalu ingat banget. Kalau tidak salah, sebelum tahun enamlima. Terutama lagu-lagu Barat. Ketahuan nyanyi lagu-lagu Barat (bahkan sekedar menyetel atau mendengarkan lewat radio luar negeri) bisa masuk penjara. Lagu atau musik Barat, yang disebut ”Ngak- Ngik-Ngok,” dilarang keras. Itu mah, revolusi kebudayaan ala Bung Karno. Tepatnya gerakan anti Amerika atau Go to Hell Yankee, seperti yang juga dilakukan oleh Mao di RRT. Maksud Bung Karno, melindungi kaum muda dari Neoimperialisme. .

Jadi, nyanyi pernah tidak sebebas biasanya. Yang waktu itu mengalami dan lagi hot-hotnya jadi anak muda, pasti tahu seperti apa rasanya dilarang-larang mengekspresikan feeling. Apalagi, kalau kebetulan lagi jatuh cinta atau patah hati. Pasti bener-bener merasa terbungkam. Garing tidak tersentuh keindahan dan kelembutan. Saya masih ingat bagaimana Om saya, Om Not, yang waktu itu sekolah di SMA De Britto, sering sembunyi-sembunyi nekad menempelkan telinga di radio yang disetel pelan-pelan untuk mendengarkan lagu favoritnya, ”Don’t Forget to Remember.”

Kalau setelah itu menyanyi jadi kebutuhan dan siapapun tanpa wigah-wigih dan malu-malu berteriak-teriak menyanyi sepanjang hari, seperti Mas Yangdrim, bisa dimaklumi. Apalagi, dijaman itu belum ada tape recorder. Jadi, radio benar-benar menjadi satu-satunya acuan masyarakat. Apa yang diputar RRI, itulah yang dikenal publik. Hebatnya, keinginan generasi muda jaman itu untuk bisa hafal dan nyanyi suatu lagu sangat besar. Berbekal buku notes kecil bergambar monyet nulis dan pensil ungu (waktu itu belum ada balpoin), mereka mencatat syair lagu yang terdengar dari radio. Seringkali setelah lagu berakhir, syair yang mereka catat belum komplit. Musti nunggu sampai RRI memutar lagi lagu yang sama. Dan itu bisa berarti keesokan harinya atau mungkin beberapa hari kemudian. Begitu dengar lagu itu diputar lagi, kontan mereka akan berlarian ke rumah tetangga yang punya radio, menempelkan telinga di jendela, sekedar numpang nguping lagu yang mereka suka dan melengkapi syair lagu yang belum tertulis semuanya dan masih bolong-bolong di sana-sini itu. Diperlukan berminggu-minggu untuk melengkapi satu syair lagu saja. Terlebih kalau itu lagu Barat atau berbahasa Inggris.

Udah gitu, karna penguasaan Bahasa Inggrisnya terbatas, yang berhasil dicatat bisa aneh-aneh. ”But darling” jadi “pathaling,” ”You got the world” bisa aja jadi ”You got the lo,” dan lain-lain. But, every body was happy. Ketika perut lapar karna perekonomian baru saja mulai merangkak, nyanyi benar-benar jadi hiburan yang sangat murah meriah. Sampai-sampai, syair lagu The Begees, ”It’s only world” jadi populer di masyarakat dan dinyanyikan, ”Iso ngliwet/ Ngliwet sego anget...” Lagu yang ”bikin kenyang” meski nasinya tidak kunjung datang...

Tapi, ternyata itu pula salah satu cara efektif belajar Bahasa Inggris. Dengan mencatat syair lagu, tanpa sadar seseorang belajar lewat listening practice. Begitu lyric didapat, aktivitas berikutnya pastilah mencocokkan dengan kamus. Artinya, belajar vocabularies. Setelah itu, berusaha menyanyikan lagu itu semirip mungkin dengan penyanyinya. Berarti, berusaha mengucapkannya dengan pronunciation yang pas. Bisa lagunya, sering menyanyikan, tapi nggak tahu artinya? Buat apa? So, pastilah ada upaya mengetahui maknanya dengan mencoba menerjemahkan. Akhirnya, selain happy menyanyi, aktivitas nyatat lagu membuat seseorang belajar Bahasa Inggris dengan cara yang mengasyikkan.

Teman saya, Pak Herman, sampai punya koleksi ribuan lagu Barat yang dia kumpulkan sejak sekolah dan dari hasil tukar-menukar dengan teman-teman dan kerabatnya yang punya hobby sama. Bahasa Inggrisnya bagus dan orangnya selalu ceria. Ketika terakhir bertemu, dia tampak awet muda. Younger than his age. Efek menyanyi...

Sampai tahun tujuhpuluhan, menyanyi jadi membudaya. Band-band banyak sekali dan seluruh masyarakat seperti mengikuti. Pada era inilah penyanyi-penyanyi legendaris dan lagu-lagu yang sekarang kita anggap nostalgia benar-benar merebak membuat seluruh masyarakat gembira ria meski perutnya keroncongan. Sentuhan lembut dan gembira musik membuat orang tidak marah meski kondisi kehidupan, terutama perekonomian, parah.

Koes Plus dalam hal ini pantas mendapat penghargaan tersendiri karena lagu-lagunya yang menyentuh segala kalangan berhasil meredam kerisauan dan jeritan kelaparan masyarakat luas. Para musikus dan penulis lyrik lagu seperti Zaenal Arifin yang menceriakan masyarakat dengan lagu-lagu ciptaannya seperti lagu ”Teluk Bayur” sangat berjasa pada bangsa ini. Juga penyanyi-penyanyi seperti Ernie Johan, Tety Kadi, Christine, Lilis Suryani, Rahmat Kartolo, Titik Sandhora dan Muchsin, dan lain-lain. Juga band-band Zaenal Combo, Patty Bersaudara, Trio Bimbo, The Mercy’s, Panbers, hingga kelompok si raja dangdut Rhoma Irama. Pada era ini Titik Puspa patut dicatat secara khusus karena setelah Zaenal Arifin, A. Riyanto dan dialah yang banyak berkiprah menghidupkan musik dan melejitkan banyak penyanyi legendaris. Belum lagi, mereka yang namanya tidak dikenal publik tapi karyanya telah menghibur masyarakat luas.

Musik membuat orang Indonesia tetap gembira meski kondisi keuangan sangat minus. Daya juang dan martabat sebagai manusia tetap tinggi.hingga langka sekali orang nyremimih dan minta dikasihani. Semua punya harapan, terutama generasi mudanya. Djokja juga penuh anak muda dari Sumatera, Kalimantan, dan daerah-daerah lain di Jawa, yang dengan heroik mengadu nasib dan kuliah dengan segala keterbatasannya The young generation’s dream... to live better. Yangdrim.